Tulisan ini dimuat di media online monitor.co.id 


Semula masyarakat mengira setelah 17 April 2019, ketegangan dua kubu pendukung capres dan cawapres akan mereda. Rupanya harapan itu jauh panggang dari api. Pemilu yang dipuji oleh dunia Internasional ini, tidaklah serta-merta diterima dengan sportif oleh salah satu pasangan capres dan cawapres.


Akibatnya ketegangan itu bukannya mengendur, tapi malah seperti ditarik sekuat-kuatnya ke arah dua kutub yang saling berlawanan. Kemungkinannya ada dua, tarikan itu memutus dua kelompok sesama anak bangsa, atau sebaliknya, sengaja dimainkan oleh oknum haus kuasa dengan cara melepas tarikan itu agar terjadi benturan kuat sehingga dua kelompok saling memukul dan sama-sama jatuh. Sementara, sang pemain, elit politik pemegang tombol kendali kerusuhan tetap melenggang dengan kuasa di tangan.


Sujud syukur salah satu peserta pilpres sebagai klaim kemenangan atas hasil pemilu yang belum sah secara hukum adalah gimik provokasi yang justru mengeruhkan nalar masyarakat akar rumput. Apalagi, klaim kemenangan itu disertai angka statistik 62%. Pendukung fanatik semakin mudah terbakar ketika disulut dengan opini bahwa pemilu curang.

 
Perang opini pun tak terelakkan, petahana yang didapuk menang oleh hasil quick count sejumlah lembaga survei kredibel, melalui tim kampanye nasionalnya menantang keabsahan data yang dimiliki kubu 02.


Ada yang absen dari nilai keadaban dan samasekali tidak mendidik masyarakat. Sayang sekali, hal itu datang dari seorang yang dikenal sebagai ulama. Adalah ustadz Bachtiar Nasir, ia mengumbar ketidakpercayaan kepada lembaga survei penyelenggara quick count Pemilu 2019.
Seperti dilansir waratkotalive.com, di depan ratusan pendukung Prabowo-Sandi di Padepokan Silat Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur, Rabu (24/4/2019), Bachtiar Nasir mengatakan hasil quick count yang memenangkan Joko Widodo-Maruf Amin mengandung sihir sains dan kebusukan.


“Emak-emak tak usah khawatir, karena quick count itu mengandung sihir sains, isinya kebusukan semua, mereka adalah pelacur intelektual,” ujarnya.


Kegaduhan pun berlanjut, khalayak awam yang sudah terlanjur mendukung secara irasional semakin diaduk emosinya oleh segelintir elit politik dengan narasi keagamaan. Digelarlah ijtimak ulama III yang menyimpulkan terjadi kecurangan secara masif, sistematis, dan terstruktur di pemilu 2019 sehingga mendesak KPU dan Bawaslu mendiskualifikasi pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin.


Tak pelak, isu people power disambut oleh rakyat kecil dengan menghunus amarah. Upaya merawat kemarahan publik dengan menjajakan statemen provokasi yang ingin melangkahi hukum adalah tindakan elit politik yang defisit keteladanan.


Setali tiga uang


Jika kubu 02 lebih memainkan narasi keagamaan, petahana melalui instrumen negara menghadirkan narasi hukum formal. Pelanggaran yang dilakukan oleh rakyat kecil pun tak luput dari kejaran aparat. Karena telah memenuhi unsur legalitas, seorang pemuda terpaksa digelandang polisi akibat mengumbar ujaran ingin memenggal kepala presiden.


Hukum diterapkan hanya demi memenuhi formalitas belaka. Rasa keadilan, sebagai nyawa sebuah penegakkan hukum pun dilucuti. Dalam sebuah kerumunan, terlebih demonstrasi, dalam keadaan emosional orang bisa meluapkan apa saja. Tanpa berniat jahat samasekali. Akhirnya, penggunaan UU ITE setara dengan UU Subversi jaman Orde Baru.


Sikap penguasa melalui aparatnya yang represif, setali tiga uang dengan sikap penentangnya. Sama-sama tidak menghadirkan keteladanan di tengah keriuhan sengkarut pemilu.


Blusukan Ramadhan


Seharusnya, Jokowi yang dikenal rendah hati dan gemar silaturahmi tidak mengedepankan penggunaan alat negara untuk mengintimidasi masyarakat. Dalam suasana bulan suci ini, ada baiknya presiden memanfaatkan momentum bulan baik ini untuk menjalin komunikasi dengan sejumlah kalangan yang masih waras dan netral.


Kalangan yang dimaksud adalah kampus, akademisi, pemuka-pemuka agama, tokoh masyarakat dan budayawan. Jokowi bisa melakukan safari atau blusukan ramadhan menjalin komunikasi agar mereka turut menenangkan keadaan supaya suasana aman dan kondusif.


Oleh : Muhammad Dhofier
Pegiat Literasi, Pendiri Taman Baca Masyarakat "Sahabat Senja".