Lesehan Tawa
Ini kawan-kawanku yang sudah lama tidak bertatap kata. Kami pernah menjejaki ruang dan waktu yang sama, yaitu kala kami masih satu sekolah di MTs NU Jembayat. Perjumpaan kami tepat dengan peristiwa sejarah yang tidak akan terlupakan oleh bangsa ini, ya, itu awal orde reformasi digulirkan.
Jika kami menggunakan sudut pandang masa lalu, waktu seperti berjalan lambat. Akan tetapi, rupanya sang waktu berjalan dipercepat saat kami beradu tawa sekarang ini. Benar kata Einstein, ruang dan waktu bersifat relatif. Tergantung tinjauan titik acunya.
Seperti banyak orang bilang bahwa masa lalu adalah kenangan, maka kami ingin menikmati kenangan itu dalam keakraban. Dan karena masa depan adalah misteri, kami enggan membicarakannya, takut mengurangi kekhusyukan tawa kami.
Mengulik cerita belasan tahun silam, mengundang rasa kangen dengan kawan-kawan yang lain. Wajah-wajah samar tergambar. Kami coba-coba mengabsen tiap kelas. Sayang, gagal total. Ide reunian pun tercetus. "Lebaran tahun ini kita ngumpul di rumahnya Sekhu ya...". Seloroh kataku spontan.
Tawa kami terus mengalir. Kenakalan, kekonyolan, dan rasa egois adalah sepenggal kisah yang bisa diingat lebih jelas daripada wajah dan nama-nama.
Saat ini
Cita-cita adalah hutang pribadi yang tak selalu terbayar lunas. Aku yang sempat mendamba jadi seorang ahli statistik, saat ini tengah menggeluti dunia yang selalu aku kritisi. Dunia yang aku yakini tidak mudah akur dengan perubahan. Dunia yang memiliki kebanggaan sebagai pencetak generasi masa depan. Ya, dunia pendidikan. Di situlah diriku berada, sebagai guru. Mudah-mudahan aku bisa berkontribusi positif di bidang ini.
Aku tidak tahu apa cita-cita kawan-kawan yang lain, tetapi dari bincang-bincang itu, mereka nampak nyaman dengan capaiannya sekarang. Barangkali tandanya orang yang pandai bersyukur. Mungkin. Hehehehe...
Topik misalnya, aku mengenalnya dari dulu sebagai pribadi yang apa adanya. Bicaranya nyeplos saja tanpa beban. Sampai hari ini, meski pernah jeda lama tak jumpa, ia masih seperti dulu. Pekerjaannya sebagai pengemudi taksi, ia tekuni dengan riang gembira. Seperti yang ku bilang, mensyukuri apa yang ada.
Lain lagi dengan Husni, ia merupakan saudara sepupunya Topik. Setahuku, dulu dia sangat bangga dengan parasnya yang lumayan digandrungi banyak wanita. Hehehehe.... Saat ini, ia nampak lebih alim. Ia kerap mengingatkan teman-teman untuk tidak main-main dengan candaan rasa di hati. Takut kebablasan katanya. Wah, hebat ya, bener juga tuh...
Husni memiliki pengalaman hidup yang lebih berwarna. Ia pernah menjalani profesi sebagai OB, sales, pedagang kaki lima, wartawan, pernah membuka kursus komputer, juga merasakan jadi guru di sekolah. Lengkap kan... Kali ini, Husni lagi menikmati hasil dari kerjakerasnya. Kesuksesannya bertolak dari pijakan pengalaman yang kaya.
Nurudin cerita selanjutnya. Sosoknya yang suka bercanda tidak mengurangi kedewasaannya. Menjalani proses hidup yang berliku dengan keyakinan yang penuh, mengantarkan dirinya menjadi marketing perusahaan properti yang berhasil.
Kawanku Muwafiq mirip dengan Nurudin. Ia juga sukses di bisnis properti. Sosoknya yang dulu, tidak banyak ku ingat. Sebab, aku tidak pernah sekelas.
Khador adalah kawan kami yang paling kalem. Aku pikir dia mau jadi olahragawan. Kemampuannya lari jarak jauh sungguh mengesankan. Dulu, Khador jadi andalan sekolah kami kalau ada lomba lari jarak jauh. Belum lama ia meninggalkan pekerjaannya di sebuah pabrik. Sekarang, ia memilih menekuni jasa transportasi online.
Sekhu kisah berikutnya. Sosoknya yang pemurah mengundang rasa kagum. Ia tidak segan membantu siapa saja teman yang butuh bantuan yang ia bisa. Aku termasuk pernah berhutang budi, TVku sempat rusak tidak muncul gambarnya. Berkat tangan terampilnya TV ku normal seperti semula. Pekerjaannya jadi pengantar pilot sebuah maskapai penerbangan, saat pilot itu mau berangkat maupun habis selesai bertugas.
Temen-temen cewek ada Tulas, Waslikha dan istri ku, Hilal. Tulas bekerja di sebuah perusahaan catering. Keberaniannya patut diapresiasi. Setiap hari berdesak di keramaian bus transjakarta. Pergi pagi, pulang malam jadi kebiasaanya sehari-hari.
Jalan takdir Waslikha berjodoh dengan orang Tangerang sini, kalau tidak salah suaminya orang Balaraja. Konon, ia jadi bu RT di kampungnya, Balaraja.
Istriku? Ia teman sekelas sedari kelas 7 sampai kelas 9. Lepas itu ia melanjutkan ke sekolah mana saya tidak tahu. Sekarang sih udah tahulah....CLBK? Tidak juga, garis takdir yang mempertemukan kami. Sekarang ia setia mendampingi saya, barangkali itu cita-citanya. Wkwkwkkkkkk.... (Pede banget).
0 Comments