Hampir setiap tahun siswa kita menyabet penghargaan di tingkat internasional. Prestasi bergengsi sekelas olimpiade matematika, fisika, astronomi, biologi, robotik, animasi dan lain-lain langganan milik siswa Indonesia. Tapi, apakah prestasi itu benar-benar milik kita? Milik siswa - siswa kita, milik guru - guru kita, milik sekolah-sekolah kita atau milik sistem pendidikan kita?

Di luar panggung kompetisi, prestasi matematika, sains dan literasi kita cukup memprihatinkan. Sejak mengikuti tes Programme International for Student Assessment (PISA) tahun 2003 hingga 2015, kita masih setia menghuni papan bawah, selalu berada di urutan 10 besar dari bawah. Apa artinya? Dalam kurun waktu lebih dari satu dasawarsa kita berkutat di lembah yang sama, lembah kemandekan. Berdasarkan hasil tes itu, kita bisa bilang pendidikan kita jalan di tempat.

Padahal, selain pendidikan, pada jarak waktu tersebut telah banyak sekali perubahan dalam bidang teknologi informasi. Bahkan, di antara kita, ada yang belum sempat memiliki Blackberry sementara era Blackberry telah digilas tanpa ampun oleh perangkat Android. Seterusnya bukan saja alat, pekerjaan manusia pun demikian. Sejumlah pekerjaan sudah tidak membutuhkan tenaga orang.

Intinya, prestasi individu siswa kita dalam berbagai bidang kompetisi, menurut hemat saya, itu prestasi murni dimiliki sendiri oleh siswa yang bersangkutan. Malah, kurang pantas jika sekolah mengklaim prestasi itu pengaruh atas sistem pembelajaran yang di bangun.

Dalam skala kecil, sekolah misalnya, tidak jarang guru atau sekolah numpang bangga dan kerap pula jumawa ketika siswanya  berprestai, misalnya dalam OSN, O2SN, FLS2N, dll. Kalau saja mau jujur, apakah prestasi mereka itu hasil atas sistem yang diciptakan oleh sekolah yang bersangkutan?  Atau semata - mata prestasi pribadi murid yang didapat dari usahanya sendiri melalui kursus atau les?

Menjawab tantangan zaman

Tahun 2018, World Economic Forum membuat kajian Future of Jobs Report. Dalam laporannya, sejumlah pekerjaan akan hilang karena diganti robot. Diprediksi juga bahwa,  65 persen pekerjaan yang akan digeluti oleh anak-anak  usia SD sekarang adalah jenis pekerjaan yang hari ini belum ada namanya.

Pendidikan semestinya menjawab tantangan itu. Tidak ada jalan lain kecuali merubah secara radikal sistem pendidikan kita. Sayangnya, dalam tahun - tahun mendatang sepertinya kita masih harus berpeluh untuk bekerja keras mencari dan meraba-raba model seperti apa yang paling tepat diterapkan dalam pembelajaran. Sementara kita berpeluh, dunia berlari kencang meninggalkan kita.

Menurut beberapa pengamat pendidikan, Kurikulum 2013 sudah ketinggalan jaman. Kita didorong mengajarkan kemampuan dan kapasitas mental abad 21, padahal di banyak negara pendidikan mereka sudah diarahkan pada kemampuan abad 31.

Dalam laporan Research on Improving Systems of Education (RISE), jika model pengajaran di Indonesia tidak banyak berubah, seperti sekarang ini, butuh ratusan tahun untuk mengejar posisi negara - negara yang bertengger di peringkat atas PISA.

Apa yang Bisa Dilakukan

Gerakan pendidikan yang lebih baik di tingkat akar rumput sebenarnya telah banyak dilakukan oleh para aktivis, praktisi dan pemerhati pendidikan. Tapi apa daya, dinas pendidikan di daerah justru mengambil jarak dengan mereka. Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) misalnya, mereka mengusung pendidikan yang lebih terbuka, menyenangkan dan humanis. Gerakan ini blusukan sendiri mencari dan membina sekolah yang mau berubah.

Komunitas Guru Belajar juga demikian. Gerakan ini menginpirasi guru2 agar lebih merdeka dengan terus menggali potensi dan pengetahuan melalui belajar tanpa kenal lelah.

Belum lagi, gerakan - gerakan literasi yang dimotori oleh taman baca masyarakat (TBM).  Gerakan - gerakan semacam ini berjalan sendiri - sendiri. Beberapa memang sudah beririsan dengan kementerian pendidikan. Akan tetapi, konsep yang digelorakan oleh gerakan pendidikan akar rumput ini belum cukup diadaptasi oleh sekolah atau dinas pendidikan.

Dalam hal itu, guru sebagai ujung tombak pendidikan selayaknyalah sadar akan peran strategis yang diemban. Tanpa mau dengan kesadaran sendiri belajar lagi, harapan kita sejajar dengan Vietnam saja, sepertinya hanya mimpi. Perlu diketahui, Vietnam baru mengikuti tes PISA tahun 2012 dan langsung medangsek ke ranking 20. Tahun 2015 yang lalu, Vietnam bahkan mampu menembus diurutan ke- 8.