Saya beberapa kali beda pendapat dengan istri soal anak tentang ngaji. Suatu kali, istri saya negosiasi agar Bening mau menghafal surat-surat di Al Qur'an yang juz 30, tentu dengan imbalan sebagai motivasinya.  Saya menanggapi dengan senyum-senyum gimana gitu, lalu istri saya protes, "gak apa-apa kali pak, masih batas wajar, kan?". Saya pasti mengiyakan, "Ya, gak apa-apa".


Awalnya anak saya semangat, ayat demi ayat surat Annaba' ia hapalkan dengan bacaan yang cukup fasih. Seiring berjalannya waktu semangatnya memudar sejalan dengan pudarnya hapalan suratnya.


Senyum yang saya bilang "gimana gitu" sebenarnya menunjukkan sikap saya yang tidak setuju Bening hapalan surat-surat Al Qur'an. Bagi saya, di usianya yang masih belia, 8 tahun, hapalan pelajaran atau hapalan surat-surat Al Qur'an hanya akan membebani nalarnya. Saat ini, kemampuannya membaca Al Qur'an dengan cukup baik adalah prestasi yang luar biasa dan patut saya syukuri. Saya tidak ingin menambahinya dengan hapalan.


Saya lebih suka ketika suatu kali ia pernah bertanya bernada protes. Bening mempertanyakan kebenaran soal putri kerajaan Sunda Galuh yang bunuh diri demi mempertahankan harga dirinya pada perang Bubat. Dari novel Gajah Mada yang ia baca, diketahui kerajaan Sunda Galuh datang untuk menyambut pinangan Raja Hayam Wuruk terhadap putri Dyah Pitaloka yang rupawan. Rupanya, mahamantri patih Gajah Mada mencegatnya di lapangan Bubat. Maha patih punya niat lain agar kedatangan Raja Sunda Galuh merupakan bukti tunduknya kerajaan itu kepada Majapahit, dan Putri Dyah Pitaloka sebagai persembahan. Dengan keras sang Raja menolak dan mengundang geram patih Gajah Mada. Kemudian maha patih itu memerintahkan pasukan untuk menyerangnya tanpa ampun. Tak mau jadi tawanan, apalagi diperistri dengan jalan pertumpahan darah, demi harga dirinya dan kerajaan sang ayah, putri Sunda Galuh itu bunuh diri.


Yang anak saya ragukan adalah peristiwa bunuh dirinya sang putri raja itu. Nalarnya mengatakan bahwa itu hanya ungkapan heroik dan dramatisasi oleh penutur peristiwa perang Bubat agar kisah itu terdengar haru dan menarik.

Jadi, saya lebih suka anak saya banyak pertanyaan daripada kepenuhan hapalan di otaknya. Suatu saat nanti, jikalau Bening ingin hapalan Al Qur'an karena memang keinginan sendiri setelah ia bisa menjawab sendiri kenapa hapalan Al Qur'an itu sangat baik,  maka tidak ada alasan saya untuk membantunya sepenuh yang saya bisa.


Saya tidak ingin anak saya berlebihan mengerti agama lalu anti sains, atau sebaliknya, saya juga tidak mau anak saya memuja sains lalu meninggalkan agama. Nalar yang ia tunjukkan pada cerita di atas, adalah modal yang mudah-mudahan tidak meredup untuk memahami agama sekaligus sains.


Ujung-ujungnya, sebagai pendidik sesungguhnya saya gundah dengan seorang yang dikenal sebagai ulama dan ahli Qur'an, lantas ia mengatakan sains itu sihir. Dan, ilmuwannya dituduh melacurkan diri pada kemewahan materi. Saya bergidik mendengar pidatonya yang lantang itu. Kalau tidak percaya dengan hasil penelitian, kenapa tidak dilawan dengan bukti-bukti kajian ilmiah juga. Kenapa harus menuduh. Kenapa pula menggiring masyarakat untuk jadi bodoh tidak memercayai metode ilmiah. Sayang.....