Saya kelu untuk turut menceritakan kronologi kejahatan yang menimpamu Audrey. Rintihmu adalah duka yang tiada tara. Sedihmu itu lara yang paling perih. Saya sulit membayangkan apa yang ada di otak manusia yang berbuat jahat kepadamu, tindakan biadab itu bahkan lebih buruk dari sifat binatang. Adakah buaya yang mengeroyok buaya lain hanya karena cemburu. Adakah serigala yang memangsa sekawanannya lantaran sakit hati. Saya rasa tidak ada.


Audrey, perempuan yang menyakitimu samasekali tak punya empati. Mereka beringas dan tanpa naluri. Mereka mungkin tak sadar, saat kehormatanmu dirusak sekeji itu, sesungguhnya mereka sedang melempar kehormatan mereka sendiri ke lumpur yang paling busuk. Harga diri mereka runtuh pada titik paling rendah dan murah. Sebenarnya, sekarang ini pun, mereka pasti sedang diliputi rasa takut.


Audrey, seperti juga kebaikan, kejahatan pun lahir karena diajarkan. Sayangnya, guru kerapkali tak sepenuhnya sadar telah menyumbang mengajarkan sikap brutal itu. Kebrutalan tidak pernah muncul tiba-tiba. Sikap itu mampu merajai akal karena rasa frustasi. Frustasi itu merupakan tabungan emosi  negatif yang bisa meledak sewaktu - waktu. Dan, rasa itu akan dilampiaskan secara acak.  Sangat disesalkan, kamu Audrey, korban letusan kebrutalan itu.


Sebagai seorang guru, meski tak kenal dengan siswi - siswi yang mengeroyok mu, saya ikut merasa bersalah. Karena rasa frustasi seringkali bersumber dari sekolah. Dan ada saya di situ, guru.


Audrey, saya berharap kebaikan akan selalu menyertai mu, semoga kamu bisa melewati trauma fisik dan psikis yang merundung mu. Saya juga berharap tak ada dendam yang membakar jiwamu. Bara nelangsa itu semoga mampu kamu redam dengan air kebajikan mu.

Dhofier Lee,
Cirendeu, 10 April 2019