Bom waktu Konflik Guru Vs Siswa
http://www.bagiguru.com/2016/04/cara-mengatasi-konflik-guru-vs-murid.html
Masih
ingatkah beberapa konflik guru dan siswa yang ramai diberitakan dan viral di
media sosial? Kasus yang terakhir heboh adalah guru honorer bergaji 400 an ribu
yang dirundung oleh muridnya sendiri. Iba rasanya, untunglah, sang guru
sedikit pun tak meluapkan amarah yang mungkin saja ia pendam.
Apakah
konflik semacam itu akan berhenti kepada sosok Nur Khalim, guru di kota Gresik
itu? Saya guru, dan saya sendiri tidak yakin kalau peristiwa guru
berhadap - hadapan dengan siswanya sebagai "musuh" tidak terjadi
lagi. Kasus siswa melawan guru menurut saya hanyalah bom waktu. Akan meledak
lagi entah di sekolah mana, jika kita, guru, berhenti belajar, berhenti
membaca, berhenti bertanya dan berhenti merenung untuk mencari jawab atas
pertanyaan murid kita yang semakin pintar dan kelebihan informasi tentang
segala hal.
Keresahan
saya soal ini terkonfirmasi malam ini. Adalah Devin Maulana Gempa, siswa kelas
7 di salah satu sekolah negeri di DKI, ia bercerita banyak pengalamannya di
sekolah. Dirinya mengaku, melihat sendiri temannya digampar dan ditendang oleh
oknum guru di sekolahnya.
Bukan itu
saja, kawan Devin yang lain bahkan, oleh seorang_ lagi-lagi _oknum guru,
diperlakukan tidak adil. Atas kenakalannya, gurunya menghadiahi hukuman tidak
boleh seorang pun dekat-dekat dengannya. Murid tersebut dilabeli sedemikian
negatif.
Devin
sendiri pernah menjadi korban tindakan emosional dari salah satu gurunya.
Sikapnya yang abai pada PR, berujung pada perundungan yang terpaksa harus ia
terima. Kesalahannya ini disebarkan lewat grup WA orangtua. "Saya malu
semalu-malunya", katanya. Sangsi serupa juga pernah dialami oleh siswa SD
di salah satu sekolah milik pemerintah di Tangsel. Pelanggaran yang dilakukan
oleh peserta didik didokumentasi dan diteruskan ke grup WA para walimurid.
Konsekuensi
atas pelanggaran peraturan yang demikian ekstrim nampaknya bukan hasil
pemikiran bersama guru - guru dan kepala sekolah dalam menangani
ketidaktertiban siswa terhadap peraturan sekolah. Contoh-contoh kasus di atas
jelas memperlihatkan inisiatif individu guru dalam merespon keengganan peserta
didik mematuhi tatatertib di sekolah. Guru menentukan sendirian kadar
pelanggaran dan memutuskan sangsinya atas takaran emosional, bukan timbangan
pendidikan.
Saya
percaya pada cerita Devin, kalaulah ada yang ditambahi, itu lebih pada caranya
dia menyampaikan cerita ini dengan meledak-ledak. Bagi saya, wajar, ia juga
emosional.
Sosok Devin
Oiya,
saya mau kasih tau juga siapa sosok Devin ini. Ia dulu tinggal di samping
kontrakan saya. Setelah rumahnya siap ditempati, otomatis keluarganya pindah.
Setahunan yang lalu, hampir setiap malam Devin belajar di taman baca.
Celotehnya khas mencirikan bahwa dia anak yang pandai. NEMnya dulu di kelas 6,
masuk di jajaran tertinggi.
Lama tak
bersua, malam tadi ia berkunjung lagi ke "Sahabat Senja". Ia Ingin
belajar Bahasa Indonesia terkait teks deskriptif. Langsung saja saya bertanya,
"kamu tahu ciri - ciri teks deskripsi?". Rupanya ia hapal di luar
kepala. Sambil mendengar ceritanya, saya meminta dia membuat teks deskripsi, satu
paragraf saja. Syahdan, dalam hati saya bilang, "benar - benar pandai ini
anak". Paragraf yang ia tulis melukiskan sosok temannya. Dari membacanya,
saya bisa membayangkan seperti apa rupa sohibnya.
Tanggungjawab sekolah
Mendengar
cerita Devin soal gurunya yang kerap membully, saya membatin, permasalahan
siswa melawan guru belum akan berakhir. Sejarak pengetahuan saya, gerakan akar
rumput pendidikan masih belum cukup masif. Inisiatif komunitas - komunitas guru
pembelajar terbatas pada tataran individu guru, belum dikelola secara
efektif oleh dinas pendidikan maupun oleh sekolah.
Ini
menunjukkan bahwa sejatinya, institusi pendidikan baik sekolah maupun dinas
pendidikan tidak serius menandai persoalan ini sebagai prioritas masalah
yang harus dipikirkan solusinya secara komprehensif, Supaya kedua belah sisi,
siswa dan guru tetap dalam hubungan sebagai teman, sahabat, guru - murid, anak
- orangtua. Bukan hubungan saling membelakangi, lawan, atau musuh.
Saya
sangat yakin, keberanian seorang siswa membantah guru tidaklah muncul tiba-tiba.
Sikap seperti ini tak ubahnya tabungan emosi. Pada puncaknya, letusan amarah
meluap dalam pelbagai bentuk letupan, bisa kata-kata yang tidak sopan,
pengabaian terhadap tugas-tugas atau yang mengerikan adalah bentuk perlawanan
fisik.
Semua
stakeholder bertanggung jawab atas tabungan emosi siswa itu. Lingkungan sekolah
tentu memiliki kontribusi negatif yang membentuk sikap lancang yang ditunjukkan
oleh siswa, selain pasti juga rumah dan teman bermain turut menyumbang hal
serupa.
Solusi
Setidaknya,
beberapa langkah ini bisa jadi alternatif mencari jalan keluar yang efektif.
Pertama, saatnya guru menyadari belajar lagi itu penting, tak harus kuliah
lagi. Meningkatkan literasi diri adalah kebutuhan yang sifatnya mendesak.
Waktu yang terus memburu usia kita bukanlah penghalang agar kita terus belajar.
Henry Ford pernah bilang, “seseorang yang
berhenti belajar adalah orang lanjut usia meskipun umurnya masih remaja. Seseorang
yang tidak pernah berhenti belajar akan selamanya menjadi pemuda”.
Kedua,
sekolah mesti berbenah. Lingkungan belajar itu perlu diciptakan, tidak
dibiarkan berjalan ala kadarnya atau mengalir begitu saja. Pendidikan itu tidak
bisa berlaku tanpa perencanaan. Kepala sekolah dan guru-guru harus memiliki
sikap visioner. Tugas kita adalah memampukan generasi mendatang siap dengan
segala tantangannya. Menjadi tim yang solid dan berdedikasi sangat diperlukan. Buatlah
forum-forum kecil yang setiap saat membahas apa yang harus dilakukan dan menyusun
bagaimana langkah-langkah kongkret untuk mencapainya. Forum-forum itu bisa
berupa bedah buku-buku bertema pendidikan, bersama-sama mendiskusikan rencana
pembelajaran yang ideal dan mengundang ahli, peneliti, dan praktisi yang bisa
mendukung program pendidikan yang telah dicanangkan.
Ketiga,
dinas pendidikan seyogyanya membuka mata, tugas mengumpulkan dokumen dan
administrasi sangatlah penting. Tetapi, dokumen tanpa ruh adalah tumpukan file
yang menunggu usang. Aktivitas peningkatan literasi terasa lebih bergairah
dimotori oleh aktivis-aktivis taman baca masyarakat daripada sekolah. Jaringan pendidikan
alternatif lebih bergaung keseruannya dibanding sekolah. Seminar dan diklat
lebih terasa sebagai program menghabiskan anggaran di ujung tutup tahun bukan
keseriusan untuk saling berdialog dari hati ke hati antar guru terkait
permasalah yang pelik, termasuk di dalamnya konflik guru dan siswa. Maka, dinas
pendidikan saatnya berjejaring dengan aktivis pegiat literasi maupun jaringan
pendidikan alternatif. Orang luar seringkali melihat lebih objektif persoalan
pendidikan. Orang dalam gampang puas dengan capaian yang sebenarnya sudah
ketinggalan.
0 Comments