Oleh : Muhamad Dhofier, Peserta Sekolah Guru Kebinekaan (SGK) 2020, Yayasan Cahaya Guru (YCG)

"Berikan kemerdekaan dan kebebasan kepada anak-anak kita, bukan kemerdekaan yang leluasa, namun yang terbatas oleh tuntutan kodrat alam menuju ke arah kebudayaan. Perlulah dipakai dasar kebangsaan, akan tetapi jangan sekali-kali dasar ini melanggar atau bertentangan dengan dasar yang lebih luas, yaitu dasar kemanusiaan" (Ki Hajar Dewantara : 1889-1959).

Nilai-nilai yang hidup dalam sebuah masyarakat merupakan keniscayaan sebab interaksi antar manusia di dalamnya. Nilai-nilai itu diajarkan dari generasi ke generasi berikutnya dengan segala perubahan yang menyertai-meminjam istilah Ki Hajar Dewantara-sesuai kodrat alam dan kodrat zaman.

Pendidikan selayaknya menjadi kawah candradimuka untuk mewariskan nilai-nilai itu, mengilhami lahirnya sebuah peradaban yang wujudnya adalah wajah masyarakat yang menerima keragaman sebagai kekayaan, rupa masyarakat yang menjauhi korupsi dan rona kehidupan masyarakat yang saling bekerja sama.

Bagaimana masyarakat ideal itu menjelma bila jalannya pendidikan justru diwarnai potret kasus yang tidak menggembirakan. Sejumlah peristiwa perundungan oleh guru ke murid, orangtua ke guru, dan siswa ke guru merupakan fakta miris yang mesti kita hadapi di tengah terkikisnya budaya gotong-royong dan saling bekerjasama.

Pengejawantahan nilai-nilai yang pernah digali oleh Ki Hajar Dewantara (KHD) relevan untuk digaungkan kembali oleh para praktisi pendidikan era sekarang. Bahkan penting bagi guru, membaca sejarah hidup KHD agar memahami perjalanan beliau memenuhi janjinya kepada Kyai Ahmad Dahlan untuk berjuang meraih kemerdekaan melalui pendidikan.

Potret KHD masa kini 

"Ki Hajar Dewantara tak mungkin merapalkan semboyan Tut Wuri Handayani sepanjang hayatnya", kalimat itu disampaikan oleh Iwan Syahril, Dosen pendidikan, University of Sampoerna, pada pertemuan perdana pembukaan Sekolah Guru Kebinekaan (SGK), 15/2/2020, asuhan Yayasan Cahaya Guru (YCG).

KHD tidak hidup dalam semboyan. Beliaulah pohon, di mana "buah"  matang Tut Wuri Handayani mewujud. Bukan pula hasil sebuah renungan semalam jadi. Semboyan itu telah melewati proses panjang, hasil pergulatan pemikiran dan pengalaman mempraktikkannya dalam ekosistem pendidikan yang sehat, Taman Siswa.

Cita-citanya mendampingi generasi muda yang mampu bertumbuh menjadi dirinya sendiri, memiliki kemandirian berpikir, merdeka dari keterkungkungan budaya feodal dan berkepribadian Indonesia, menancap dalam relung batinnya. Harapan ideal membangun jiwa manusia yang bakal mengisi Indonesia merdeka itu, membawanya mempelajari pemikiran tokoh-tokoh pendidikan dari berbagai penjuru negeri.

Tokoh yang menonjol memengaruhi pemikiran KHD antara lain: Friedrich Frobel (1782-1852), Bapak taman kanak-kanak dari Jerman,  Dr. Maria Montessori (1870-1952), pendidik dari Italia yang mengilhami pemikiran belajar yang memerdekakan dan Rabindranath Tagore (1861-1941), peraih Nobel Sastra dan pendiri perguruan Santiniketan, di Kalkuta, India.

KHD memeras sari gagasan tokoh-tokoh tersebut lalu mengawinkannya dengan kultur Indonesia. Hasil rajutannya adalah kanvas pendidikan yang dilukis dengan kearifan budaya Indonesia. Lahirlah metode pamong yang kita kenal dalam Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.

Warisan KHD Saat Ini

Warisan yang sangat berharga itu agaknya kurang dimaknai dengan sungguh-sungguh oleh pendidik masa kini. Seperti yang diajarkan oleh beliau, pendidikan adalah persemaian benih-benih kebudayaan. Hasilnya semestinya budi pekerti luhur yang tercermin dalam laku insan berbudaya.

Sayangnya, perilaku masyarakat yang kurang tertib di jalan raya, sulit mengatakan kalau itu bukan dampak pendidikan yang salah arah. Tindakan korupsi yang oleh para ahli dikatakan bukan kejahatan tunggal,  rasa-rasanya tak berlebihan sebagai pengaruh linier pendidikan yang materialistis. Tingkah aneh oknum politisi yang saling melempar kursi dalam sebuah rapat besar, juga saya yakini sebagai kegagalan pendidikan yang memuja kompetisi.

Di mana nilai-nilai yang diperjuangkan oleh KHD? Nampaknya membeku di gedung kemendikbud, kering dipajang di gedung sekolah dan dikultuskan oleh para juru didik di pojok kelas lalu lupa dipahami dan diselaraskan dengan kodrat zaman ini.

Seperti yang Iwan Syahril sampaikan di SGK, setiap disebut nama KHD dalam berbagai forum, yang muncul adalah beliau tokoh pendidikan, Tut Wuri Handayani, dan sejumlah kalimat ceremonial lainnya sebagai pemanis belaka. Sementara tulisan-tulisan KHD malah tak dibaca. Padahal, KHD sendiri ingin dikenal sederhana, "Meski bangsawan", lanjut Iwan, "KHD kerap mengatakan saya orang Indonesia, manusia biasa, bekerja dengan cara Indonesia dan untuk Indonesia".

Oleh sebab kehilangan nilai-nilai KHD, alam pendidikan kita agaknya dibutakan oleh budaya kompetisi yang berlebihan, alih-alih mengarusutamakan pemelajaran yang membangun sikap kolaborasi dan gotong-royong.

Sekolah berlomba mendapatkan posisi terbaik terkait nilai UN misalnya. Atau, antar siswa saling bersaing memperoleh rangking satu. Peserta didik yang juara senang walau harus mengalahkan temannya yang berbeda digit pada nilainya. Mental ingin mengalahkan membalut belantara jiwa murid. Perundungan merupakan dampak nyata yang ditampilkan oleh jiwa-jiwa yang merasa kalah.

Sekolah tak mau ketinggalan, mereka giat mengais piala ketimbang memajang karya-karya siswa. Tentu tak semua sekolah seperti itu, sebagian kecil sekolah telah berani mengubah paradigma dari pengumpul piala menjadi pembuat karya, semula berkompetisi sekarang berkolaborasi.

Sekolah semacam itu seharusnya masuk "radar" kementerian pendidikan dan kebudayaan agar menjadi sekolah rujukan yang mampu mengimplementasikan nilai-nilai yang diteladankan oleh maha guru, KHD.

Pendidikan harus menemukan ruhnya. Bagaimana mungkin mau mengajarkan gotong-royong jika masih mengagungkan tes dan soal-soal ujian yang sarat dengan kompetisi. Puluhan tahun silam, secara gamblang KHD mengingatkan, "Kita lihat di zaman sekarang, sekolah tidak memberi cukup semangat mencari ilmu pengetahuan sendiri, karena tiap-tiap hari, tiap-tiap triwulan dan tiap-tiap tahun pelajar-pelajar kita terus-menerus terancam oleh sistem penilaian dan penghargaan yang intelektualis".

Pendidikan yang kosong tanpa ruh semacam itu melahirkan manusia robot. Dalam buku Titik Ba, Ahmad Thoha Faz mengutarakan, "manusia modern tidak hanya menciptakan mesin, bahkan tak jarang lalu latah dengan menyesuaikan otaknya bekerja mengikuti cara pikir mesin". Di buku yang sama, Thoha Faz juga mengutip Erich Fromm (1900-1980), "pendidikan membuat mesin yang bertingkah seperti manusia dan memproduksi manusia yang bertingkah seperti mesin".

Menghidupkan kembali nilai-nilai KHD

Kita perlu segera menyadari kelemahan ini jika tak mau terperosok dalam jerembab keterpurukan. Sampai kapan kita menanggung skor matematika, sains dan membaca yang rendah dalam penilaian PISA.

Tanpa upaya serius menggali kembali nilai-nilai KHD dan menerapkannya, pendidikan hanya melanggengkan pertentangan biner; sesat-selamat, neraka-surga, benar-salah, kafir-non kafir, hitam-putih, yang sedang menjangkiti masyarakat kita.

Belum lagi kekeliruan yang dipertontontonkan seperti pernyataan perempuan bisa hamil jika berendam di kolam renang, betapa pelajaran sains dasar seperti tak membekas.

Kita harus bangkit. Tak perlu mengarahkan telunjuk sana-sini mencari sumber kesalahan. Kita perbaiki bersama melalui dua arus. Dari atas pemerintah serius membenahi arah pendidikan yang benar dilandasi nilai-nilai KHD. Sementara dari bawah, gerakan akar rumput seperti Sekolah Guru Kebinekaan (SGK) yang diselenggarakan oleh Yayasan Cahaya Guru (YCG) dan gerakan-gerakan sejenis yang memberdayakan dan meningkatkan kapasitas guru perlu didukung.

Sikap dan nilai-nilai KHD kita kembalikan pada posisi yang semestinya, menjadi inspirasi melahirkan praktik pemelajaran yang manusiawi. Guru bisa belajar dari sumber mana saja. Seperti KHD, kita perlu pemikiran terbuka dan mau belajar konsep pendidikan dari Barat. Soal kekhasan, kita mampu meramunya dari kearifan lokal. KHD memberikan pelajaran itu. Pengembaraan pemikirannya diakui hingga ke pentas global. Tapi soal jatidiri bangsa, KHD menggali sedalam-dalamnya dari bumi pertiwi.

Akhirnya, pintu gerbang mengamalkan nilai-nilai KHD adalah guru perlu memahami, "anak-anak bukanlah miniatur orang dewasa", tegas Thoha Faz, "kesadaran mereka sama lengkapnya dengan orang dewasa, bahkan dengan kemampuan dan kemauan belajar yang jauh lebih baik". Atau kata Jung dalam kutipan Thoha Faz, "jika ada sesuatu yang kita ingin ubah pada diri seorang anak, kita sebaiknya memeriksanya dan melihat apakah hal itu bukan sesuatu yang lebih baik diubah dalam diri kita".