Oleh : Dhofier Lee
Pendiri Komunitas Diskusi "Lesehan Pendidikan"


Liburan semester ganjil yang bersambung dengan libur Natal dan Tahun baru ini saya berkunjung ke rumah guruku sewaktu MTs dulu. Sekaligus ini menjadi catatan akhir tahun yang reflektif dalam dunia pendidikan. Atau boleh lah ini dibilang resolusi untuk tahun baru mendatang.

Nama beliau Pak Asikin, sejak sekolah MTs NU Jembayat berdiri jelang tahun 1990-an, beliau tercatat menjadi guru di madrasah ini. Saya tak mungkin tidak bangga dengan guru legendaris ini. Setiap alumni, dari paling sulung hingga alumni paling langgas, kesan mendalam pastilah dengan beliau, pak Asikin.

Guru yang mengetahui betul caranya berkomunikasi yang baik dengan para muridnya. Guru yang sangat memahami apa esensi mendidik. Guru yang piawai mengelola emosi. Guru yang tak menggurui. Guru yang memanusiakan. Bagi saya, beliau adalah guru yang hebat.

Jika hari ini, mas menteri Nadiem mencari tipe guru pembelajar atau guru yang merdeka dan memerdekakan muridnya, beliau lah yang saya rekomendasikan sebagai guru merdeka belajar yang patut diberikan penghargaan.

***
Diujung Desember 2019 ini, kami saling berbincang. Keprihatinan kami sama, dunia pendidikan kita jalan di tempat. Belasan tahun kita konsisten menempati posisi mengenaskan dari hasil tes PISA. Bahkan, kemampuan membaca anak-anak kita sama seperti 18 tahun lalu. 

Saya sebagai muridnya yang kini juga guru, memiliki pandangan yang beririsan, kualitas kami, yang guru ini, tidak beranjak maju. Ungkapan ini janganlah dimaknai saya tidak cinta dan tidak menghormati guru-guru saya. Terpujilah bagi mereka para guru dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Menyadari kelemahan dan melakukan kritik terhadap dunia pendidikan yang saya geluti ini, tidaklah menciderai rasa hormat yang tulus buat guru-guru. 

***

Pak Asikin, guru saya yang hebat itu pun sepakat, dana yang dikucurkan pemerintah melalui berbagai tunjangan guru; sertifikasi, tunjangan fungsional, inpassing dan kawan-kawannya, samasekali tak berbuah manis bagi kualitas peserta didik. Sinkron dengan temuan Bank Dunia bahwa peningkatan kesejahteraan guru di Indonesia tidak berpengaruh pada peningkatan kualitas pendidikan. 

Artinya, sejatinya bukan soal kurikulum semata yang jadi persoalan serius dunia pendidikan kita. Sebagai ujung tombak pembelajaran, guru lah garda paling depan yang menentukan mutu pendidikan. Sudah menjadi narasi umum, di tangan guru yang bagus, kurikulum jelek pun tidak selalu jadi masalah utama. Tapi, kurikulum yang bagus diembankan pada guru yang buruk, kata sobat Didi kempot, "ambyaaar".

Di akhir saling bercerita itu, saya mengatakan : "berat nian ya jadi guru, pak". Lalu beliau menimpali, "berat bagi kita yang serius memikirkan masa depan anak murid kita, sebagian besar guru menganggap tugas guru tak lain tak bukan semata hanya rutinitas yang biasa saja, daftar hadir mulus, finger print lengkap, honor sertifikasi cair, ya sudah. Mereka tak perlu repot berpikir bagaiman mengkontekstualisasi materi pembelajaran".

***

Kalaulah boleh dikata ini resolusi, maka sebagai guru, saya akan berupaya terus belajar, menambah bacaan, syukur-syukur nambah gajian.wkwkwkwkk...

Saya pasti tidak akan sehebat guru Asikin yang saya ceritakan itu. Setidaknya saya punya manfaat aja buat anak didik saya, meskipun mungkin hanya secuil manfaatnya....