Oleh : Muhamad Dopir, guru di SMP Al Fath BSD


Salah satu kebijakan menteri kabinet Jokowi jilid dua yang ditunggu-tunggu publik adalah Nadiem Makarim. Perdebatan eksistensi UN sejak satu dasawarsa terakhir 'pecah telur' di tangan mantan bos Go-Jek ini. Tak hanya itu, kebijakan Merdeka Belajar meniupkan angin segar bagi guru yang selama ini disibukkan administrasi ketimbang belajar itu sendiri.

Kebijakan tersebut mengingatkan publik pada negara yang menyelenggarakan sistem pendidikannya dengan konsep merdeka belajar, yaitu Finlandia. Meski hasil PISA teranyar tidak menempatkannya kembali di posisi terbaik, Finlandia tetap menjadi rujukan bagi banyak negara terkait penyelenggaraan sistem pendidikan yang memampukan siswa kreatif, mandiri, berpikir terbuka, memiliki jiwa yang merdeka dan berkarakter.

Selama ini, Di Indonesia, pemahaman pendidikan ala Finlandia masih pada wacana konseptual. Upaya membumikannya dalam konteks keindonesiaan melalui penerapan kurikulum 2013 (K13) sejak era menteri Muhammad Nuh, menemui kendala, sebaguan karena beda paham, sebagian lainnya justru sebab kekurangpahaman. Ada pula yang sedari mula malah skeptis dengan upaya pembaruan tersebut. Akibatnya, kualitas pendidikan kita belum menunjukkan performa yang memuaskan.

Sejumlah indikator capaian hasil pendidikan mengonfirmasi hal tersebut. Hasil tes PISA misalnya, mencatat kemampuan dasar matematika, sains dan membaca siswa Indonesia masih rendah. Peringkatnya konsisten berada di tangga bawah urutan negara-negara peserta. Hasil PISA tahun 2018 yang rilis di pengujung 2019, bahkan mendaulat kemampuan membaca siswa kita sama seperti 18 tahun silam.

Sementara, hasil tes yang dilakukan Kemendikbud melalui Indonesian National Assessment Programme  (INAP) tahun 2018, tak jauh beda. Menurut laporan, hanya 6,06 persen siswa di Tanah Air yang mampu membaca dengan baik. Anak-anak kita baru pada tahap bisa membaca namun tak memahami bacaannya.

Kondisi itu diperparah dengan kenyataan, generasi muda kita mudah terjebak ke dalam emosi negatif. Sejumlah problem sosial kerap lekat dengan mereka; konflik guru dan siswa, tawuran, narkoba, rendahnya kedisiplinan dan radikalisme.

Berbanding lurus dengan itu, kualitas guru juga belum menggembirakan. Tiga tahun berturut, 2015-2017, hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) TK hingga SMA ajek, rarata nilainya belum melampaui target pemerintah, kurang dari 70.

Fakta-fakta itu setidaknya menjelaskan satu hal, kelemahan guru dengan performa  siswa sinkron. Asumsi publik yang mengatakan pengajaran di sekolah masih mengandalkan hapalan ketimbang pemecahan masalah menemukan pembenaran. Sekolah meminggirkan pengajaran bernalar kritis dan berpikir logis.

Praktik Baik

Di tengah perbincangan kualitas pendidikan kita yang belum membaik, sejumlah gerakan akar rumput saling berresonansi positif, mengupayakan pengajaran yang menempatkan siswa lebih manusiawi, sebagai subjek pembelajar yang menyandang banyak potensi cemerlang.

Salah satunya adalah Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT), lembaga pendidikan yang senapas dengan sekolah-sekolah Finlandia. KBQT menyelenggarakan pendidikan non formal di bawah asuhan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), penyedia layanan pendidikan penyetaraan atau kejar paket.

Dibidani oleh gerakan serikat tani Qaryah Thayyibah di Desa Kalibening, Salatiga, KBQT lahir demi menunaikan tugas kebudayaan, yaitu menyelenggarakan pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan dan kemandirian. Semula membuka SMP terbuka tahun 2003, mengikuti pola pendidikan formal. Tahun 2006, Bahrudin, penggagas komunitas belajar ini, memutuskan tidak lagi menyelenggarakan sekolah formal. Sebabnya, praktik kurikulum pendidikan formal kerap membatasi ruang aktualisasi diri.

Praktik belajar 

Struktur kurikulum yang terdiri atas susunan mata pelajaran tidak akan kita temui di komunitas belajar ini. Objek yang dipelajari disesuaikan dengan keinginan murid. Pembelajaran benar-benar bertumpu pada pengembangan kreativitas dan kemandirian siswa. Kurikulum disusun sendiri oleh semua elemen di komunitas belajar ini. Pola komunikasi yang dibangun, setiap individu adalah keluarga.

Penanaman disiplin berjalan alami. Sejak awal siswa terlibat dalam pembuatan aturan yang luwes dan mendidik, termasuk penyusunan jadwal belajar. Aturan tersebut disepakati, lantas dijalankan oleh semua elemen dalam komunitas. Pemenuhan tanggungjawab didasari oleh kesadaran individu, tak terkait dengan aturan yang ketat dan kaku.

Guru sebagai fasilitator adalah benar belaka. Di sekolah formal, guru masih menjadi sumber belajar utama. Guru di sini dikenal sebagai pendamping belajar, perannya sebagai teman diskusi, membantu mengarahkan riset yang dilakukan siswa dan turut sebagai peserta belajar bersama mereka.

Penilaian Belajar

Siswa KBQT tidak dibebani PR, persis sekolah di Finlandia. Tak ada tes standar semisal formatif (penilaian harian) maupun sumatif (penilaian tengah dan akhir semester). Keikutsertaan anak pada ujian nasional (UN) pun diserahkan sepenuhnya kepada anak.

Penilaian dilakukan secara autentik dan menyeluruh pada proses belajar, bukan hasil belajar yang berupa angka-angka. Siswa terbiasa berdiskusi tentang topik yang akan dipelajari dan bagaimana mempelajarinya. Menulis narasi dan menampilkan presentasi adalah menu belajar sehari-hari. Itu pula yang menjadi bahan penilaian oleh pendamping belajar.

Mata pelajaran terinternalisasi, padu dalam kegiatan tematik. Alih-alih belajar fragmen-fragmen ilmu pengetahuan yang serba terpisah, pembelajaran siswa KBQT merupakan integrasi keilmuan yang holistik. Anak tak sekadar meramu jawaban sebagai solusi, tapi juga menyusun pertanyaan-pertanyaan atas fenomena. Ini sejalan dengan hakikat ilmu pengetahuan.

Hasilnya, buku-buku hasil karya tulis siswa mejeng di toko-toko buku. Jurnal sederhana hasil kajian siswa yang merespon sejumlah masalah sosial mudah dijumpai di rak buku sekolah non formal itu. Juga, karya siswa yang berupa seni pertunjukkan, film pendek, permainan tradisional dan sebagainya, merupakan karya berbudaya buah dari pengelolaan pembelajaran yang memanusiakan dan memerdekakan.

Kita perlu belajar konsep pendidikan dari Finlandia. Soal kekhasan, kita mampu merajutnya dari kearifan lokal. Bung Karno memberikan pelajaran berharga. Pengembaraan pemikirannya diakui hingga ke pentas politik global. Tapi soal jatidiri bangsa, Bung Karno menggali sedalam-dalamnya dari bumi pertiwi.

Jadi, sebenarnya kita sudah mempunyai contoh yang sangat baik dalam khazanah pendidikan kita, seperti yang sudah terbukti berhasil dilakukan KBQT. Pemerintah dan insan-insan yang terlibat dalam pendidikan nasional harus mau belajar dan mengadopsi sistem yang sudah bertahun-tahun dilakukan KBQT, karena ia lahir dari penghayatan terhadap esensi pendidikan, yaitu memanusiakan manusia.