Oleh : Muhamad Dopir, Guru di SMP Al Fath BSD 


Fenomena covid-19 yang sebarannya begitu masif, membawa kondisi masyarakat dalam kepanikan yang berlipat. Berbagai sendi kehidupan mengalami sedikit goncangan krisis yang entah hingga kapan. Ancaman pelambatan pertumbuhan ekonomi mengancam di depan mata. Tak kecuali sektor pendidikan, kebutuhan dasar anak-anak itu juga mengalami gangguan.

Soal pendidikan, nampaknya kita justru dihadapkan pada permasalahan baru. Kegugupan kita merespons peristiwa covid-19 merambat ke guru yang kurang siap memberikan layanan pemelajaran yang tetap natural dan menenangkan. Alih-alih turut meredakan gelombang panik, sekolah melalui guru malah gamang, sehingga pemelajaran daring dalam bentuk pengiriman tugas yang banyak terpaksa menjadi beban akademik yang membikin siswa bertambah stres.

Kita sungguh prihatin dengan bertumpuknya PR yang harus diselesaikan oleh murid. Di lingkungan saya tinggal misalnya, seorang siswa kelas 2 SD harus menanggung tugas membaca beberapa buku dan yang terjadi adalah ketegangan orangtuanya yang mendampingi anaknya belajar dengan cara yang simpel, marah.

Di Jakarta, seorang siswa melaporkan bahwa ia mendapatkan instruksi gurunya agar gadgetnya dalam kondisi aktif dari pukul 07.00 sampai dengan pukul 15.00. Peserta didik disuruh sikap sempurna layaknya pemelajaran di kelas.

Di sejumlah daerah tidak kalah miris, siswa yang tak memiliki gadget harus merengek agar dibelikan untuk andil memenuhi tugas guru. Belum lagi yang harus terpaksa berjubel di warung internet (warnet) sebab keterbatasan kuota yang ada. Anjuran menjaga jarak sosial (social distance) menjadi tak berarti bila anak-anak pada akhirnya melakukan kontak dekat (close contact) dengan teman-temannya di warnet.

Kenyataan itu menunjukkan betapa kita tak pernah belajar dengan sungguh-sungguh bagaimana menyikapi suasana krisis. Guru yang tak sigap dengan kondisi seperti ini secara laten sedang membelajarkan ke siswa ketidakmampuannya menghikmahi fenomena krisis.

Bukankah ada baiknya, kejadian ini adalah kesempatan pendidik mengajarkan anak-anak agar menjadi pribadi yang bijak, memotivasi mereka untuk melangkah ke dalam diri, melakukan kontemplasi atas kejadian yang menguji kemanusiaan kita untuk saling menguatkan kebersamaan di tengah keberlimpahan informasi yang kerap mendistorsi kebenaran informasi itu sendiri.

Dua Sisi Krisis

Krisis sejatinya mempunyai dua wajah yang tak melulu mendera kita dalam kepahitan. Muka lain dari peristiwa krisis adalah kita ditantang agar mampu berinovasi dengan daya kreativitas yang kita miliki, juga ujian yang mampu mendorong kita bijak bertindak dan bajik bersikap.

Bila juru didik gagal paham menyediakan layanan pemelajaran yang bermakna, dan lagi-lagi siswa di posisikan sebagai objek yang aktif karena instruksi belaka, terlebih membebaninya, padahal mereka perlu tenang dan sehat, maka tak berlebihan kiranya mengatakan kualitas pendidikan kita memang belum cukup menggembirakan.

Kita bisa membaca hasil penilaian PISA sebagai kewajaran tak terbantah. Hampir dalam dua dasawarsa kita konstan menghuni level bawah dalam hal membaca, matematika dan sains dasar. Keadaan salah kaprah belajar daring yang justru menyusahkan siswa dan orangtuanya merupakan cermin yang menegaskan keterpurukan mutu pendidikan kita selama ini.

Pilihan Aplikasi Belajar

Sebenarnya aplikasi belajar online sudah cukup banyak. Guru bisa memilih sesuai selera yang mereka mau. Tinggal bagaimana menggunakannya dengan baik. Platform media sosial juga bisa dimanfaatkan untuk belajar lewat gawai.

Belajar dalam ruang digital ada dua teknik. Pertama, guru dan siswa online di waktu yang bersamaan. Siswa mendapatkan penjelasan langsung, melakukan tatap muka dengan cara teleconference. Kedua, guru memberikan petunjuk yang jelas, tugas yang harus dilakukan, lalu siswanya bisa mengerjakan tugas itu boleh di waktu yang lain.

Prinsip yang harus diperhatikan dalam belajar daring adalah guru tetap harus menyusun rencana pemelajaran. Misalnya jika siswa harus membaca, harus jelas buku apa, halaman berapa. Petunjuk tugasnya juga mesti rinci dan pasti. Guru kurang bijak jika memerintahkan siswanya membaca, petunjuknya 'yang penting membaca', tanpa kejelasan bacaan yang dimaksud apakah sesuai dengan tujuan pemelajaran atau tidak.

Konten pemelajaran yang disusun juga sebaiknya sederhana tapi kontekstual. Dalam sehari anak cukup belajar satu matapelajaran, dengan durasi satu setengah sampai dua jam di pagi hari. Sekolah tak perlu mewajibkan siswanya mengaktifkan gadgetnya sepanjang hari layaknya pemelajaran di kelas menyesuaikan jadwal yang telah ada.

Dalam suasana tidak normal seperti saat ini, penyediaan layanan pemelajaran tak harus dibikin senormal mungkin. "Membebani siswa dengan gunungan PR tak akan membuat mereka jenius dadakan", tulis Prie G.S di laman media sosialnya.