Peristiwa ceramah kontroversial Ustadz Abdul Somad (UAS) cermin bagi kita. Perasaan paling benar, lantas  menolak meminta maaf adalah riak sosial yang kerap melingkupi kita. Merundungnya, ibarat mengarahkan jari telunjuk ke liyan, sementara keempat jari lainnya menunjuk pada sikap kita yang serupa.

Ruang virtual banyak menyimpan file peristiwa yang sulit dibilang kalau itu bukan wajah kita. Ceramah UAS yang mengatakan ada jin kafir di salib hanyalah sejumput kejadian yang bisa dikatakan nir empati. Rak berita di latar digital terpampang dan mudah diunduh, misalnya tiga tahun silam, ibu Dora berteriak histeris dan mencakar petugas polisi yang menilangnya.

Ada juga seorang ulama muda, memekikan  ujaran kebencian terhadap pemerintah dengan memaki dan memfitnah. Dan masih dalam ingatan kita, pengacara pengusaha terkenal, tanpa kecut menyerang hakim di ruang persidangan. Juga, parade senyum pejabat dan politisi korup yang dicokok KPK. Perilaku itu menunjukkan betapa keakuan lebih ditonjolkan sementara eksistensi orang lain dinihilkan.

Belakangan, kita prihatin meluasnya unjuk rasa di Papua yang dipicu oleh kekerasan dan ujaran berbau rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang beberapa waktu lalu. Unjuk rasa itu ibarat api dalam sekam yang disulut oleh sumbu stereotip negatif terhadap masyarakat Papua selama ini, selain pula kekerasan dan ketidakadilan yang dialami.

Karena gelar ustadz itulah, seseorang merasa memilki otoritas kebenaran agama. Ibu Dora seakan menggenggam hukum karena dirinya pegawai di lingkungan Mahkamah Agung. Pengacara yang menyerang hakim bisa jadi karena ia menganggap dibekingi oleh sang pemberi kuasa. Soal Papua, masyarakatnya mengaku mendapatkan label negatif ketika berada di daerah lain. Itu contoh laku merasa hebat sendiri.

Rasa empati absen dari laku itu. Oleh Daniel Goleman, dalam social  intelligence (2006), absennya rasa empati berdasarkan tingkatannya, ada tiga jenis. Pertama, narsisistik, orang narsisis menganggap dirinya lebih dari siapapun. Ia memaknai hidup sebagai pencapaian ketimbang kebermanfaatan.

Si narsisis mengejar penghargaan istimewa dan kejayaan. Meski memiliki empati, tapi selektif, ia menutup mata terhadap mereka yang tidak membantunya mencapai kemenangan. Yang menarik, Goleman mengatakan orang narsisis lebih suka berkhotbah dan memberikan indoktrinasi.

Kedua, machiavellian, orang yang mempunyai asumsi kepentingan dirinya merupakan kekuatan penggerak satu-satunya dalam kodrat manusia, altruisme sama sekali tidak ada dalam gambaran hidupnya. Orang tipe ini tidak tertarik membangun relasi positif, menatap orang lain dalam kerangka yang semata-mata utilitarian- sebagai sesuatu untuk dimanipulasi bagi tujuan pribadinya. Ia menghalalkan segala cara. Daniel Goleman menyebut sang machiavellian dengan istilah jilat atas-injak bawah.

Ketiga, psikopat, inilah level di mana rasa empati benar-benar telah mati. Tingkatan psikopat paling layak masuk sel tahanan. Orang psikopat jangankan takut, rasa belas kasihan, ia tak memilikinya sedikitpun. Dalam laporan Goleman misalnya, seorang sarjana dan pakar genre teror dan horor dalam film dan sastra, Leonard Wolf, ingin menulis kisah nyata seorang pembunuh berantai.

Pembunuh yang ingin ia wawancarai telah membunuh sepuluh orang termasuk tiga orang keluarganya sendiri. Beberapa kali Leonard mengunjunginya di penjara. Setelah mengumpulkan keberanian, Leonard mengajukan pertanyaan : " Bagaimana anda bisa melakukan hal seburuk itu kepada orang lain. Apakah tidak terpikir belas kasih kepada korban?". Terhadap pertanyaan itu, si penjagal berantai ringan menjawab apa adanya, "Oh tidak. Saya harus mematikan bagian itu. Jika sedikit saja saya merasakan kesusahan orang-orang yang jadi target saya, maka tentu saya tak mampu melakukannya".

Tiga jenis perilaku itu tampak tak asing memenuhi pemberitaan di pelbagai media kita. Jangankan yang narsisistik, laku yang terakhir disebut malah terbilang banyak terjadi. Psikopat yang digerakkan karena persaingan usaha, urusan seksualitas, rebutan warisan, persaingan politik hingga atas nama agama.

Sampel kejadian yang penulis sebut di awal, hanyalah puncak gunung es. Di dasarnya, yang luput dari rekaman berita jauh lebih banyak. Barangkali kita lah di bawah sana. Alih-alih menghujat UAS, kita justru menampar muka sendiri.

Dalam tulisan Goleman yang pakar kecerdasan emosi itu, disebutkan Michael Maccoby, seorang psikoanalis yang fokus mempelajari dan memberikan terapi pada pemimpin-pemimpin narsisis, menemukan salah satu penyebab hilangnya empati adalah hubungan disharmoni dalam keluarga.

Seorang CEO yang diterapi oleh Maccoby, diajak menggunakan ingatannya untuk berjalan mundur. CEO yang kerap marah pada bawahannya itu melacak amarahnya pada masa kecil. Saat ia tidak dihargai oleh ayahnya sendiri. Prestasi sebaik apapun tidak membuat ayahnya terkesan. Sekarang ia haus imbalan emosi dalam bentuk pujian yang melimpah dari para bawahannya.

Sejalan dengan Maccoby, pakar kecerdasan majemuk, Thomas Amstrong, mempunyai jalan pikir yang sama. Apa yang kita jalani saat dewasa ditentukan oleh apa yang kita dapatkan sewaktu usia dini di rumah dan sekolah. Pengalaman usia emas itu mengalami pengkristalan. Semakin positif stimulus yang kita peroleh, gilirannya dewasa, tiga sifat yang kering empati itu mampu kita hindari.

Berkaca dari itu, ada pembelajaran yang bisa kita petik. Ruang keluarga kita ada baiknya diisi dengan komunikasi yang hangat antar anggota keluarga. Memberi teladan dan tak malas memuji sekecil apapun prestasi anak, meski bukan prestasi yang diganjar nilai dan piala. Pun di sekolah, di antara gaung tentang keterampilan abad 21 adalah kemampuan berkolaborasi. Guna pengajaran itu, meminggirkan budaya kompetisi adalah keniscayaan.

Alhasil, sikap narsis yang berpotensi melahirkan anti perbedaan bukan hanya ditampilkan oleh ustadz Abdul Somad, jika kita mau menengok ke dalam, barangkali itu mewakili kita. Rumah dan sekolah mampu mencegah itu andaikan orangtua dan guru sungguh-sungguh mengajarkan kearifan.

Oleh : Muhamad Dhofier
pegiat literasi, pendiri TBM Sahabat Senja