Oleh :
Muhamad Dopir, Guru di SMP Al Fath BSD

Umumnya kita, memulai kebiasaan baru bukan hal mudah. Sebagai makhluk sosial, bertemu orang lain secara fisik menjadi kebutuhan utama. Kurangnya mobilitas fisik tentu saja mengundang 'efek samping' baik fisik maupun psikologis. Himbauan bekerja, belajar, dan beribadah di rumah untuk menekan persebaran virus Corona membentangkan jarak perjumpaan di antara kita.

Di samping itu, wabah Covid-19 menjadi tema perbincangan yang kerap membuat bising dan tak jarang membuat mental kita kepayahan. Di tengah gempuran informasi yang melimpah, kita dituntut memiliki kecerdasan tambahan, kemampuan memilih dan memilah informasi yang benar.

Adalah keluarga semestinya bisa menjadi sumber pencerahan. Bersama kesulitan, kemudahan membersamai dalam bentuknya yang unik, seturut cara pandang kita terhadapnya. Keluarga dapat menjadi pijakan melihat persoalan dengan jernih lalu menginspirasi solusi bijak.

Seruan Yudi Latif baik untuk direnungkan, gelap tak berarti buruk, dalam kegelapan malam, kelap-kelip gugusan bintang dan terang bulan menerbitkan keindahan yang mengagumkan. Sementara cerah tak melulu bermakna keceriaan, di bawah terik matahari, bagi mereka yang tidur adalah kepekatan. Dua-duanya tetap anggun bila diri diliputi keluasan kalbu.

Keharmonisan keluarga merupakan jendela pencerahan. Saat layar malam menutup senja, jendela rumah berfungsi sebagai wahana menikmati keheningan. Jendela tempat melihat kanvas malam tanpa kita harus didera takut angin malam menusuk. Di kala siang, jendela tempat kita menyaksikan curahan sinar matahari tanpa khawatir kepanasan.

Andai sebentuk rumah telah ambruk tak berjendela sepotong pun, kenikmatan memandang langit malam mengharuskan kewaspadaan kalau-kalau hujan turun atau angin kering menerpa. Begitu pun saat tubuh menyenangi siraman cahaya mentari, tanpa naungan rumah yang utuh, sengatan matahari tengah hari boleh jadi berbahaya.

Demikian keharmonisan keluarga. Ibarat rumah utuh yang memiliki jendela. Ia sumber cinta yang melahirkan kebahagiaan. Sindhunata dalam novelnya "Putri Cina", ia menyeru, "janganlah engkau mencari kebahagiaan, sebab dengan mencari kebahagiaan engkau hanya akan menemukan kemalangan. Maka apa yang harusnya engkau cari dan buat adalah cinta dan mencintai karena hanya dengan cinta dan mencintai, dirimu akan menjadi bahagia dan menemukan kebahagiaan". Rumah dan keluarga adalah sumber cinta itu.

Menjadi guru bagi anak sendiri 

Momentum bekerja dari rumah adalah saat di mana kita bisa membayar ‘hutang’ pada anak-anak yang selama ini diserahkan sepenuh-penuhnya kepada gurunya di sekolah. Meme yang menyindir orangtua bahwa anaknya tak betah belajar di rumah lantaran orangtuanya lebih galak dari gurunya mesti kita balik. Kita sebagai orangtua harus berani membuktikan bahwa belajar di rumah bersama orangtua jauh lebih menyenangkan.

Sesungguhnya keluarga memiliki fungsi pendidikan. Kedudukannya malah yang utama. Apa yang kita jalani sekarang, menurut Thomas Armstrong adalah ejawantah dari apa yang dulu orangtua tanamkan ke diri kita. Jika hari ini kita tak berani mencoba hal-hal baru, itu semata penegasan bahwa dulu orangtua kita mendominasi sudut pandangnya dan kita sebagai anak mengekor belaka.

Sekarang waktunya orangtua mampu menjadi guru yang baik dan menyenangkan bagi anak-anaknya di rumah. Pola bekerja dari rumah, barangkali akan menjadi tradisi baru bahkan setelah pandemi ini berlalu.

Mengajarkan Empati 

Keluarga juga memiliki fungsi sosial. Sebagai unit terkecil masyarakat, keluarga sejatinya peletak dasar bangunan karakter anak. Karakter yang dibutuhkan setiap saat adalah rasa empati, kepedulian terhadap sesama.

Di balik keprihatinan ini, pandemi virus Covid-19 tak serta-merta memberangus kehidupan. Saatnya kita berbagi sesuai batas-batas yang kita mampu. Orangtua bisa memberikan keteladanan pada anak untuk menghidupkan sikap solidaritas.

Penanaman rasa empati melalui contoh nyata, pada akhirnya secara teguh membekali sang buah hati kelak menjadi bagian yang berperan langsung di masyarakat. Dalam kehidupannya nanti anak dengan kesadaran sendiri mampu memaknai bahwa hidup merupakan pengabdian dan keterpanggilan membantu masyarakat di bidang yang menjadi kapasitas pribadi.

Peran Spiritual 

Kelahiran manusia merupakan wujud cinta dan kemurahan Tuhan untuk semesta. Maka sandaran kehidupan yang kita jalani adalah cinta kepada-Nya. Misi kehidupan kita untuk mengabdi (beribadah) kepada Yang Maha Pencipta. Pengabdian sesungguh jiwa tak lantas dimaknai sempit, sebatas pada ritus-ritus ibadah sebagai bukti kesalehan.

Menjadi makhluk Allah yang menghamba, adalah mereka yang menjadi manusia sejati. Dalam peringatan haul Gus Dur, KH. Mustofa Bisri pernah mengatakan bahwa puncak spiritualitas adalah menjadi manusia. Beliau mencontohkan Gus Dur. Seorang darah biru keturunan pendiri NU yang senantiasa di tengah umat. Sisi pribadinya telah selesai, sehingga sisi hidupnya yang lain beliau wakafkan untuk kemaslahatan umat.

Kesalehan seseorang tak hanya tercermin dari kuantitas ibadah yang ia dawamkan. Kesalehan individu haruslah berpendar pada  kedamaian, kepedulian dan kerukunan bersama di tengah masyarakat. Bukankah sebaik-baik manusia adalah mereka yang menebar kemanfaatan bagi sesama. Kesalehan pribadi akan semakin teguh bila menuju kesalehan sosial.

Di tengah hiruk-pikuk kesibukan, mengingatkan hal semacam ini pada anak mungkin terlewatkan. Menyerahkan pendidikan moral seluruhnya pada sekolah adalah mustahil. Kesempatan baik bersama keluarga memberikan waktu yang lebih dari cukup menghangatkan komunikasi yang kerap terjeda oleh gaduhnya komunikasi yang mementingkan diri masing-masing anggota keluarga.

Melatih kepemimpinan 

Apakah sempat kita mengajarkan anak-anak  menjadi pemimpin yang baik, sementara waktu bertemu dengan mereka selalu berjarak sebab pekerjaan di kantor. Apa rasanya, di tempat kerja kita disegani karena kesungguhan memimpin bawahan, sementara kecakapan memimpin tersebut tak pernah disaksikan langsung oleh anak kita sendiri.

Saat seperti ini, keharusan bekerja dari rumah, merupakan keluasan berkah agar kita dikenali seutuhnya sebagai pemimpin rumah tangga yang patut diidolakan oleh anak. Keluwesan komunikasi dengan anak sangat berbeda ketika kita berhadapan dengan rekan bekerja di kantor. Dibutuhkan banyak uji coba cara bertutur dengan anak agar mereka betah mendengarkan.

Mungkin di antara kita pernah merasakan sendiri. Anak kita lebih percaya gurunya di sekolah ketimbang orangtuanya. Saya pernah terkejut waktu anak saya mengatakan membeli makanan di kedai tertentu hukumnya haram. Peristiwa yang cukup membekas, saya harus memutar dan memilih-milih diksi yang pas agar anak saya tahu bahwa gurunya keliru, tapi tak memudarkan kepercayaan dia pada gurunya.

Pengalaman menarik ketika di hadapan saya sendiri, menyaksikan anak sedang berselisih paham dan saling beradu kata-kata dengan teman mainnya. Saya sengaja tak mau nimbrung dalam ketegangan mereka. Bagi saya, inilah saat pelatihan kepemimpinan yang riil untuk anak saya. Saya mengamati seksama bagaimana ia mengatur emosinya.

Setelah usai, barulah saya ajak ngobrol asyik. Saya sampaikan kepadanya bahwa kemampuan menguasai diri, memimpin jiwa dan raga sendiri adalah bekal agar ia mampu memimpin orang lain.

Alhasil, mari kita kembalikan keluarga menjadi ruang inspirasi. Sumber cinta yang melahirkan kebahagiaan. Jika di antara kita sudah mulai merasakan bosan, kata guru meditasi, Gede Prama, boleh jadi kita belum mencapai puncak kedalaman, kesunyian yang menggetarkan nilai-nilai illahi. Selamat memetik kehangatan dengan keluarga di rumah, semoga wabah Corona cepat berlalu.