Dua tahun lalu, tepatnya 9 Agustus 2007 bertepatan dengan peringatan hari Masyarakat Adat sedunia sekjen AMAN ( Aliansi Masyarakat Adat Nusantara ); Abdon Nababan mengatakan bahwa masyarakat adat masih termarjinalisasi dan belum mendapatkan pengakuan. Padahal, pengakuan terhadap masyarakat adat dinilai akan dapat menekan konflik.
Pernyataan ini sangat beralasan, masyarakat adat sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kerukunan, kebersamaan, kejujuran, gotong-royong, kekeluargaan, dan keadilan.
Lebih lanjut Abdon mengatakan, terdapat tiga persoalan besar yang dihadapi oleh masyarakat adat. Pertama, berlangsungnya kolonisasi di wilayah masyarakat adat dan sangat sarat berbagai kepentingan. Kedua, masyarakat adat juga mengalami eksploitasi sumber daya alam, mengingat sumber kekayaan seperti hutan dan bahan tambang berada dalam wilayah tanah adat. Ketiga, masyarakat adat mengalami pemaksaan nilai-nilai. Ada nilai-nilai global yang merampas nilai-nilai mereka. Masyarakat adat, misalnya, dipaksa untuk menyangkal kepercayaan yang dianut sejak lama dan memilih satu dari lima agama yang diakui di Indonesia.
Tidak hanya krisis global di bidang ekonomi yang sedang melanda dunia termasuk Indonesia, melainkan krisis identitas yang mengabaikan bahkan mungkin menghilangkan kearifan lokal sedang melanda Republik ini yang kaya raya akan keragaman budaya. Hal ini berpangkal dari pemberlakuan model kebijakan yang kerap mengabaikan hak-hak masyarakat adat, merampas hak ulayat, serta menggerus nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi anutan masyarakat adat.
Sudah saatnya komunitas masyarakat hukum adat berhak menuntut setiap pemerintah daerah masing-masing untuk menetapkan wilayah adat mereka. Sebab, perlindungan negara terhadap entitas masyarakat hukum adat sudah diberikan melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Bangsa ini dibangun di atas pondasi luhur yang menjunjung tinggi nilai-nilai humanis, perbedaan memperkaya keragaman. Tapi apa yang terjadi sekarang? perbedaan melahirkan konflik, perbedaan melahirkan fanatik buta, perbedaan keyakinan melahirkan klaim kebenaran untuk melegalkan kekerasan, MUI pun menjadi lembaga yang terkesan seperti polisi agama, seperti polisi akidah yang selalu mengeluarkan fatwa yang acap kali mengesampingkan kemaslahatan dan hanya memunculkan kontroversi yang justeru rawan karena dapat merontokkan akidah dan moral umat, perbedaan tanpa penghargaan dan penghormatan sehingga kemana kapal berlabel Indonesia ini akan berlabuhpun tidak jelas.
Perbedaan pandangan di antara elit politik yang sedang berkuasa dan elit politik oposisi hanya mempertontonkan sifat kekanak-kanakan. Yang oposisi mengatakan penguasa memperlakukan rakyat "seperti yoyo", kemudian dibalas dengan statemen yang tidak mau kalah yang dulu juga "seperti gasing".
Bagaimana Negara akan mengakomodasi kepentingan-kepentingan masyarakat adat yang menjunjung tinggi kerukunan, penghargaan, dan penghormatan; jika para elit politik yang berlomba-lomba meraih tahta kekuasaan tidak dapat menunjukkan kedewasaan dalam komunikasi politik???
Republik ini hanya dipenuhi wacana dan retorika, memprihatinkan...................
Ini negeri demokrasi, mari hidup berdampingan secara damai......
Siapapun boleh hidup di sini.....