Pelajar semakin tidak hapal urutan dan sila-sila dalam Pancasila. Hal ini menjadi pertanda adanya penurunan wawasan kebangsaan di kalangan pelajar masa kini. Penilaian ini diperoleh melalui sejumlah evaluasi yang dilaksanakan oleh Direktorat Jendral Kesatuan Bangsa dan Politik (Departemen Dalam Negeri) dilansir oleh kompas.com (19 November 2009). Gejala ini terutama terjadi pada pelajar di daerah perkotaan. Penurunan wawasan kebangasaan ini menjadi indikasi penurunan jiwa nasionalisme.

Jika mahasiswa lebih dikenal sebagai agen perubahan sosial karena sejarahnya, maka semestinya pelajar adalah agen pembentukan karakter. Banyak sekolah yang melupakan ini, pembangunan karakter siswa atau pelajar dikalahkan dengan kepentingan mengejar nilai UN yang tinggi. Padahal dengan UN yang dilihat adalah hanya kemampuan kognitif, sejatinya pendidikan akan melahirkan pelajar yang kompeten bukan hanya kemampuan kognitif nya saja melainkan harus kompeten pada kemampuan afektif dan psikomotoriknya.

Empat pilar wawasan kebangsaan; pemahaman pancasila, NKRI, UUD '45, dan keragaman budaya harusnya menjadi ranah yang juga dibina secara konsisten. Miris memang, saya pernah melakukan survei disalah satu SMP swasta di Jakarta. Survei itu untuk mengetahui siswa yang konsisten setiap pagi bangun pagi pukul 04.30 atau pukul 05.00. Hasilnya luar biasa memprihatinkan, dari empat kelas dengan masing-masing kelas terdapat 40 an siswa hanya maksimal hanya 3 siswa dalam tiap kelasnya yang bisa bangun pagi jam 04.30 atau jam 05.00 ditambah lagi karena mereka muslim, mereka menunaikan sholat subuh. Akan tetapi yang lain atau sisanya rata-rata bangun pagi di atas pukul 06.00 ditambah lagi mereka tidak menunaikan sholat subuh.

Bagaimana mungkin membangun karakter dan wawasan kebangasaan, pembangunan karater diri siswa juga sulit berdasar survei di atas. Sekolah bukan satu-satunya yang bertanggungjawab atas hal ini. Keluarga, lingkungan masyarakat dan terutama pemerintah harus bertanggung jawab. Pemerintah mestinya mampu menyelenggarakan sistem pendidikan nasional dengan kurikulum yang juga meniktikberatkan pada pembangunan karakter siswa. Jika keadaan di atas berlarut-larut tidak menjadi fokus untuk diperbaiki maka bukan tidak mungkin bangunan ke-Indonesiaan akan rapuh di masa-masa yang akan datang.

Hal ini terbukti sekarang, elit politik kita semakin pragmatis. Banyak peraturan perundang-undangan yang dibuat hanya untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang bahkan tidak berpihak pada rakyat.
Belum lagi wajib belajar yang diusung oleh pemerintah dilaksanakan hanya dengan setengah hati. Ada pembiaran kepada mereka yang tidak memiliki kesempatan bersekolah.