Dunia pendidikan kita seperti berjalan lambat untuk menjemput perubahan. Lembaga pendidikan justru menjadi institusi yang paling tidak responsif terhadap perkembangan zaman yang dirajai oleh teknologi informasi. 

Di saat anak-anak kita telah sangat jauh berselancar di jagad virtual, sekolah kita masih membatasi ruang-ruang kelas dengan dinding yang kokoh, sempit karena kebanyakan siswa, pembelajaran yang monoton karena jarang dilakukan di luar kelas, bahkan minim akses internet. Malah, kebanyakan sekolah bangga menerapkan aturan, siswa dilarang keras membawa gadget mereka. Padahal, pada waktu tertentu, agar pencarian informasi pengetahuan menjadi lebih mudah dan memotivasi siswa, maka membawa gadget menjadi hal yang wajar. Tentu, pendewasaan akan bijaknya penggunaan gadget perlu terus disampaikan. Pelarangan terlalu ketat seperti itu, dalam pandangan saya, adalah tindakan melawan kehendak arus zaman dan kurang tepat. 

Di dunia yang makin modern ini, dalam kondisi tertentu, hadirnya fisik menjadi tidak penting lagi. Semakin maju, makin virtual. Saat ini, barangkali kita sedang asyik duduk manis di ruang kantor yang ukurannya hanya (3 x 4) meter persegi, tapi tangan kita boleh jadi sedang menggenggam dunia. Jari dan jempol menuntun otak yang sedang ingin mengintip pasar global. Pun anak-anak kita, mereka fasih merapalkan jenis-jenis tank dari yang klasik hingga paling mutakhir. Imajinasi mereka tak terbendung, membayangkan dirinya secara utuh pindah dari satu tempat ke tempat yang lain dengan melangkahi waktu, sangat cepat. Inspirasi seperti itu bukan diilhami oleh pengetahuan dari gurunya melainkan oleh kemampuannya menjelajahi lorong-lorong maya lewat sentuhan jari. 

Andai saja, kita dilahirkan berbekal otak nalar saja tanpa otak emosi yang mampu mewarnai sisi-sisi kehidupan, barangkali sekolah secara fisik tidak dibutuhkan lagi keberadaannya. Guru bukan lagi sumber pengetahuan utama. Karena, pengetahuan yang nyaris lengkap dapat diunduh oleh anak didik kita melalui Google. 

Barangkali, salah satu alasan kenapa sekolah secara fisik masih diperlukan adalah bimbingan moral, pembentukan karakter, pengembangan literasi dalam arti yang luas dan budaya bernalar yang logis tidak bisa kita alihtugaskan kepada internet. Pertemuan langsung antara murid dan guru diharapkan mampu mewujudkan pertalian batin sebagai jembatan untuk membangun karakter peserta didik. 

Untuk itu, penguatan pendidikan karakter tidaklah otomatis mewujud hanya dengan metode penambahan waktu berada di sekolah. Demikian juga, program-program sekolah yang ditujukan untuk penguatan karakter taklah serta merta efektif dan berkorelasi positif sesuai dengan tujuannya semula. 

Upaya yang terus-menerus harus dilakukan secara berjenjang dan tuntas adalah perbaikan mutu juru didik. Guru sebagai garda terdepan dalam membentuk kepribadian anak haruslah pula guru yang berkarakter. Seperti telah diketahui, kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi sosial dan kepribadian haruslah sungguh-sungguh melekat pada guru. Pemahaman yang benar pada pengertian belajar mesti dihayati oleh seorang guru. Pendidikan haruslah usaha sadar yang menghasilkan siswa-siswa pembelajar, kreatif, inovatif dan humanis. 

Hakikat belajar adalah membelajarkan peserta didik, bukan sekadar transfer pengetahuan. Materi ajar yang disampaikan haruslah merupakan dasar-dasar praktik keilmuan, melatih sikap ilmiah kepada peserta didik, sekaligus mengembangkan kemampuan siswa untuk mengungkapkan gagasan melalui sebuah karya tulis sebagai bentuk pengembangan literasi. 

Pengajaran yang sekadar berorientasi pada kemampuan siswa mengerjakan soal sedapat mungkin harus dihindari. Jangan sampai, pengetahuan yang diperoleh peserta didik semata-mata untuk diingat dan digali kembali untuk keperluan mengerjakan soal dalam ujian formatif maupun sumatif. Belajar menjadi ritual hapalan pengetahuan tanpa memahami hakikat ilmu yang mendasari pengetahuan tersebut. Alhasil, tidak ada pencerahan nalar. Wawasan keilmuan yang didapat menjadi nirfungsi.

 Menjadi Peneliti 

Sebagai contoh, materi statistika dan peluang di kelas IX SMP. Umumnya, guru mengajarkan materi itu berupa pengetahuan yang dihapal: definisi sampel, populasi, ukuran pemusatan data (mean, median, modus) dan ukuran penyebaran data. Seluruh informasi itu disampaikan tanpa dilatari keilmuan statistik secara mendasar. Untuk menguji pengetahuan itu kemudian disusunlah soal yang lebih mengutamakan kecakapan peserta didik dalam proses menghitung dan mengingat daripada hakikat dan kebermanfaatan keilmuan statistik tersebut dalam bidang penelitian. 

Dengan mempraktikan langsung kegiatan penelitian sederhana, saya mengajak siswa melakukan sebuah penelitian tentang pelbagai hal yang berkaitan dengan proses belajar dan lingkungan sekolah. Siswa ternyata mampu memahami dengan baik statistik pada aspek pengetahuan maupun keilmuan. Dengan memanfaatkan lingkungan sekolah sebagai sumber belajar, siswa kemudian memberikan gagasan penelitian dengan tema-tema aktual seputar kegiatan belajar dan program sekolah. 

Tema-tema yang diteliti siswa di antaranya : efektivitas tata tertib sekolah, minat membaca siswa, sudahkah siswa membuang sampah pada tempatnya, pernahkah menyontek pada saat ujian, pernahkah melanggar aturan sekolah, tipe guru yang disukai, matapelajaran yang disukai, intensitas belajar di rumah, motivasi belajar, efektivitas memperdengarkan musik pada saat belajar, setuju atau tidak jika UN ditiadakan, seberapa mengganggu (mengganggu atau tidak mengganggu) games yang disukai di rumah dengan kegiatan belajar dan lain-lain. 

Penelitian ini masih sederhana, murid menyurvei hanya dengan dua kategori; suka atau tidak suka, efektif atau tidak efektif, sudah atau belum, pernah atau tidak pernah, setuju atau tidak setuju atau menyebutkan kategori, seperti : tipe guru yang disukai, mata pelajaran yang disukai, motivasi belajar dan lain-lain. 

Penelitian dilakukan dengan tetap memerhatikan metode statistik yang benar. Pengambilan sampel dilakukan secara acak atau random. Dari hasil penelitian, kita mendapati hasil yang ilmiah dan disajikan dalam bentuk diagram batang, diagram garis dan diagram lingkaran yang menarik. Dengan kreatifitas masing-masing, siswa membuat diagram yang unik, berwarna dan mudah dipahami. 

Hasil penelitian ini kemudian dipresentasikan di kelas dan ditanggapi antar teman. Kajian ini menghasilkan simpulan dan rekomendasi yang akan disampaikan kepada Kepala sekolah. Anak-anak sangat terkesan, mengetahui bahwa Kepala sekolah merespon hasil penelitian mereka dengan sungguh-sungguh.  

Tahap persiapan 

Langkah pertama, sebagai awal saya ingin mengetahui dulu kemampuan siswa dalam menyajikan data dalam bentuk tabel. Menampilkan data dalam tabel supaya mudah dipahami orang bukanlah hal gampang. Ini terbukti di lngkah awal saya mengarahkan siswa untuk meneliti. Saya meminta mereka untuk mendata apa saja yang ada di lingkungan sekolah baik yang sudah ada maupun yang bisa diperoleh harus dengan wawancara. 

Anak-anak bergegas keluar kelas untuk mencatat apa saja yang ingin mereka sajikan dalam tabel. Benar saja, setelah mereka kembali ke kelas dan menyusun data untuk dituangkan dalam tabel, hasilnya tidak semua memuaskan. Ada yang sudah sempurna, tetapi kebanyakan masih ada kekurangan yang perlu dilengkapi. Sebagai contoh : umumnya kesalahan murid adalah tidak adanya judul dari tabel yang mereka tunjukkan, banyaknya kolom yang kurang efisien, tidak fokus pada apa yang sebenarnya ingin disajikan dan lain-lain. 

Karena pembuatan tabel ini adalah tugas individu, maka saya memerlukan waktu untuk memberikan pengarahan pada siswa untuk melengkapi bagian-bagian yang penting agar tampilan tabel tidak membingungkan pembaca, tetapi justru memudahkan orang untuk mendapatkan informasi yang akurat. Di sinilah perlunya kolaborasi dengan guru lain. maka, saya meminta teman sejawat untuk membantu siswa menyempurnakan tabel yang mereka buat. 

Langkah kedua, pasca pembuatan tabel selesai dan siswa telah mampu memahami dan mempraktikan dengan benar, langkah selanjutnya adalah mengubah penyajian data dalam bentuk tabel tersebut dalam bentuk diagram batang, diagram garis dan diagram lingkaran. Ternyata, ketika mereka telah benar-benar menguasai cara menyuguhkan data secara benar dengan tabel, langkah mereka untuk mengubahnya menjadi diagram tidak terlalu sulit. 

Populasi dan Sampel 

Selanjutnya, pemahaman yang penting diketahui oleh siswa dalam materi statistika adalah terkait pengertian populasi dan sampel. Saya kembali menggunakan cara dengan mempraktikan langsung agar siswa tidak menghapal arti populasi dan sampel tetapi memahaminya dengan sungguh-sungguh. 

Saat masuk kelas, agar lebih dramatis dan siswa berkesan, saya membawakan beberapa gelas teh kemudian saya mengatakan : “hari ini, saya ingin berbagi dengan teman-teman (panggilan guru kepada siswa di sekolah tempat saya mengajar). “Walaupun segelas teh, tetapi ini spesial saya bawakan untuk kalian. Hanya saja, teh yang saya bawa tidak semuanya manis. Ada yang saya kasih gula, ada pula yang tidak”, ujar saya. Lalu saya melanjutkan. “ buatlah kelompok yang terdiri dari 2 orang dalam psatu kelompok, setiap kelompok ambillah segelas teh, berikan kesimpulan, apa rasa segelas teh kelompokmu (manis atau tidak manis) dengan cara mencicipinya, gunakan sendok yang telah disediakan”, kata saya. 

Begitulah belajar dalam kacamata saya, sedikit sentuhan perhatian berbalas antusiasme anak-anak. Dan itu yang saya alami. Siswa menunjukkan kemauan belajar yang dalam pandangan saya cukup termotivasi. Berikutnya setelah itu, saya meminta siswa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini : 1. Jika kamu seorang peneliti, ingin mengetahui kandungan logam yang mencemari sungai Ciliwung, apakah harus mengambil seluruh air dari sungai untuk dikaji di laboratorium? 2. Sebagai ilmuwan/peneliti, jika kamu ingin mengetahui pendapat masyarakat di suatu wilayah kota/kabupaten tentang seberapa patuh mereka pada peraturan lalu lintas, apakah harus seluruh individu dalam masyarakat itu kamu berikan pertanyaan satu per satu? 

Pertanyaan itu hanya untuk stimulus agar mereka memahami apa itu sampel dan populasi. Hasilnya, mereka dengan mudah menyimpulkan pengertian populasi dan sampel dalam sebuah penelitian. Penjelasan tentang bagaimana cara mengambil sampel yang baik agar mewakili sebuah populasi tak luput saya sampaikan. Karena setelah kegiatan ini, selanjutnya mereka akan melakukan aktivitas penelitian yang untuk sementara, diarahkan pada penelitian sosial. 

Proses Penelitian 

Penelitian akan dilaksanakan kelompok, mengacu pada kelompok yang sudah dibentuk sebelumnya, yaitu pada saat menyimpulkan pengertian populasi dan sampel. Pada proses awal, saya meminta mereka untuk mengajukan tema kajian yang akan mereka lakukan. Suasana belajar menjadi riuh mengasyikkan. Anak-anak sibuk mencari topik penelitian untuk kemudian mereka konsultasikan kepada saya. Antusiasme mereka sekali lagi, saya katakan sangat menggairahkan. 

Akhirnya, semua kelompok telah mempunyai tema kajian dan siap untuk menjadi seorang peneliti. Tema-tema tersebut sudah saya jelaskan di awal, di antaranya : efektivitas tata tertib sekolah, minat membaca siswa, sudahkah siswa membuang sampah pada tempatnya, pernahkah menyontek pada saat ujian, pernahkah melanggar aturan sekolah, tipe guru yang disukai, matapelajaran yang disukai, intensitas belajar di rumah, motivasi belajar, efektivitas memperdengarkan musik pada saat belajar, setuju atau tidak jika UN dihapuskan dan lain-lain. 

Seperti pada penjelasan saya sebelumnya, penelitian mereka pada tahap yang mudah dan sederhana, yakni, murid menyurvei hanya dengan dua kategori; suka atau tidak suka, efektif atau tidak efektif, sudah atau belum, pernah atau tidak pernah, setuju atau tidak setuju, atau menyebutkan kategori, seperti : tipe guru yang disukai, mata pelajaran yang disukai, motivasi belajar dan lain-lain. 

Populasi yang menjadi obyek penelitian adalah seluruh siswa di sekolah kami. Para peneliti muda ini menentukan sendiri sampelnya setelah dipilih secara acak/random dan merata di semua level : kelas VII, kelas VIII dan kelas IX, sesuai dengan penjelasan saya pada saat pembahasan populasi dan sampel. 

Saya berkeliling untuk memberikan penilaian kinerja mereka, penilaian otentik. Proses inilah yang saya sebut sebagai internalisasi pendidikan karakter. Jadi, karakter yang ingin saya bangun dan lekatkan pada mereka terinternalisasi pada proses belajar. Saya ingin menanamkan kepada peserta didik, karakter seorang peneliti yang jujur, obyektif, bicara berlandaskan atas informasi yang benar, bukan hoax. Di samping itu, karakter kesantunan cara mewawancarai responden, meminta izin untuk wawancara karena penelitian harus dilakukan dengan masuk ke kelas-kelas, sementara kelas lain juga sedang belajar. 

Yang juga penting adalah penilaian pada waktu mereka presentasi, menyajikan data dengan cara yang mudah dipahami, dan melaporkan penelitian itu dalam bentuk artikel. 

Selesai melakukan survei, mereka kembali ke kelas untuk menyusun dan menyajikan data mereka pada selembar karton dan ditampilkan dengan cara yang unik, menarik dan berwarna. Hasilnya ditempel pada display yang sudah disediakan. 

Sementara itu, presentasi bukan hanya dilaksanakan di kelas untuk bahan diskusi. Sejumlah kelompok saya minta laporkan hasil penelitiannya kepada guru yang sudah saya tentukan, beberapa kelompok lain presentasi di depan kepala sekolah.  

Hasil belajar 

Ada beberapa catatan menarik pada saat presentasi hasil penelitian. Dalam suasana diskusi yang seru dan mengasyikkan, seorang siswa bertanya kepada saya, “bagaimana jika hasil penelitian survei tak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Pada pemilihan Kepala Daerah misalnya, kita mengenal penghitungan hasil pemungutan suara dengan metode quick count, bagaimana jika ada hasil yang tidak sesuai antara penelitian survei dengan fakta pada hasil penghitungan suara akhir oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)?” ujar seorang murid. 

Pertanyaan itu kemudian saya kembalikan lagi kepada mereka. Saya ingin mengetahui bagaimana mereka membaca fakta dan menghubungkan materi pembelajaran dengan wacana-wacana yang mereka lontarkan. Salah seorang siswa lalu berpendapat, “itu berarti ada kesalahan dalam penghitungan data hasil survei atau kemungkinan lain disebabkan tidak diperhatikannya metode statistik dengan benar”. Seorang lainnya berseloroh, “karena dibayar kali?”. Spontan berisik tawa peserta didik mengundang kagum saya. Saya tidak bisa tak sepakat dengan mereka. Opini yang disampaikan oleh siswa adalah analisa yang berharga dan patut saya apresiasi. 

Saya sangat menikmati suasana pembelajaran itu, semangat diskusi yang ditampilkan oleh peserta didik, saya jadikan momentum untuk memasukkan nilai-nilai kejujuran. Saya katakan pada mereka bahwa obyektivitas sebuah penelitian ilmiah tidak bisa ditawar dan dipengaruhi faktor apapun. Kejujuran seorang peneliti atau ilmuwan tercermin dari keberaniannya mengungkapkan kesahihan cara berpikir dan kebenaran dari hasil atas kajiannya pada sebuah obyek riset. 

Momen spesial lain dari pembelajaran yang saya lakukan bersama siswa di kelas adalah munculnya gagasan-gagasan berharga. Melalui penelitian sederhana itu, ada siswa yang mampu menjabarkan hasil penelitiannya lewat penulisan artikel yang mengagumkan. Penelitian tentang minat baca siswa misalnya, hasil penelitian menunjukkan minat baca yang tinggi, diperoleh hasil survei 76% siswa membaca setiap harinya. Di dalam artikel yang ditulis disebutkan usulan agar sekolah seharusnya lebih kreatif menata kelola perpustakaan agar minat membaca siswa dapat ditumbuhkan lebih massif lagi. Siswa tersebut menyarankan agar perpustakaan dibuat portabel. Buku-buku ditempatkan di lokasi-lokasi yang variatif. Hari ini buku-buku ada di taman, besok di kantin dan seterusnya bergantian setiap hari. Sehingga, kegiatan membaca buku bukan sesuatu yang membosankan. 

Penelitian lain yang juga mengundang rasa bangga adalah penelitian terkait efektivitas peraturan tata tertib sekolah yang dibarengi dengan pengurangan poin apabila terjadi pelanggaran. Sehingga, tatkala seorang siswa memiliki poin yang sangat minimal, berarti siswa ini banyak melanggar peraturan dan label siswa nakal atau kurang tertib menempel padanya. 

Peraturan yang dibarengi pengurangan poin ini mendapatkan kritik yang cukup tajam dari siswa yang melakukan kajian. Dalam penulisan artikelnya siswa yang bersangkutan mempertanyakan, misalnya, dari mana munculnya angka/poin itu, apa landasannya minus 50 untuk siswa yang membawa senjata tajam dan seterusnya. Di sisi lain, siswa juga mengungkapkan bahwa sekolah mengeluarkan aturan tersebut toh pelaksanaannya tidak sungguh-sungguh. Mereka mengatakan, hal ini terbukti dari hasil penelitian mereka bahwa 80% siswa berpendapat pelaksanaan peraturan sekolah tidak efektif. 

Siswa peneliti peraturan sekolah itu juga berpendapat bahwa, label negatif yang melekat pada siswa dengan poin minimalis sangat merugikan, karena dalam pandangannya yang dijelaskan dalam artikel, label semacam itu justru tidak memotivasi siswa untuk menjadi lebih baik. Perasaan minder dan malu malah semakin merusak mental siswa yang berpengalaman mendapatkan poin sedikit. “Perlu ada pendekatan yang lebih bersahabat”, kata mereka. 

 Artikel siswa ini kemudian direspon positif oleh kepala sekolah. Lalu, dalam forum rapat, hasil kajian siswa itu dibahas serius. Dan kesimpulannya, sekolah tetap memberlakukan peraturan yang sudah ada, tetapi tidak lagi diikuti dengan pengurangan poin. Peraturan itu akan ditegakkan dengan pendekatan yang lebih humanis, dalam bahasa siswa, lebih bersahabat, untuk menghindari label negatif yang merugikan siswa secara psikologis.  

Refleksi 

Pengalaman belajar harus mampu memberikan kesan mendalam pada diri siswa mengenai aspek keilmuan pada materi yang diajarkan dan nilai-nilai kearifan yang akan membentuk karakter positif siswa. Kemampuan siswa mengaitkan pengalaman belajar mereka dengan wacana kekinian, pilkada misalnya, merupakan hasil refleksi atas kesan yang bermakna dalam proses pembelajaran. Kepedulian siswa terhadap pengembangan literasi contohnya, adalah efek positif ketika belajar menjadi lekat dengan siswa. Penerapan strategi belajar di atas berbasis pada pengembangan kecerdasan majemuk siswa. Strategi belajar yang memampukan siswa bersikap kritis di dasarkan pada data, tidaklah asal omong yang disandarkan pada keyakinan benar atas informasi yang keliru. 

Belajar adalah sebuah proses yang terbuka. Siswa diberikan ruang agar mampu mengungkap gagasan-gagasan berharga demi kepentingan belajar mereka sendiri. Belajar bukanlah suasana yang otoriter, semuanya berasal dari guru dan sekolah. Kritik siswa terhadap peraturan sekolah yang direspon baik oleh kepala sekolah menunjukkan sekolah menghidupkan ekosistem pendidikan yang humanis. 

Siswa yang aspirasinya didengarkan semakin termotivasi dalam belajar. Pendidikan yang dalam pandangan HAR Tilaar bertautan dengan dua esensi, yaitu : sebagai hak asasi dan sebuah proses, dipenuhi oleh sekolah. 

Sementara menurut Rhenald Kasali, untuk pertama kali dalam sejarah, dunia sekolah dan kerja, didisi oleh empat generasi yang berbeda : generasi kertas-pensil, generasi komputer, generasi internet dan generasi smartphone. Ada gap yang cukup lebar antar generasi. Generasi guru yang mengajar adalah generasi di mana mereka mengalami sekolah yang linier, terpisah antar subyek pelajaran. Beda matapelajaran berarti beda keahlian yang secara otomatis beda guru. Pelajaran IPA, Bahasa dan Matematika merupakan subyek yang terpisah, seolah tidak bertalian satu dengan yang lain. Sedangkan generasi yang menjadi siswa adalah generasi yang multitasking, integratif. Mereka mampu melakukan beberapa hal dalam satu waktu. Maka, proses belajar untuk mereka adalah pembelajaran kolaboratif. Rencana pembelajaran harus disusun secara tematik. Satu tema untuk banyak matapelajaran, tidak lagi terpisah. Generasi seperti ini selalu dinamis, dunianya bersenang-senang. Mereka enggan jika belajar dibikin terlalu serius. 

Maka, pembelajaran di atas berusaha memenuhi tanggung jawab itu. Mengikuti dan memahami pola belajar yang dimaui generasi millennial. Untuk itu, belajar bukan dimulai dari anak didik melainkan harus diawali oleh guru itu sendiri. Guru yang baik adalah guru yang mau terus-menerus belajar. 

Dalam hal penilaian, pembelajaran yang telah saya lakukan menegaskan bahwa proses menilai tidak harus selalu berupa tes, pengerjaan soal-soal. Penilaian dapat dilakukan sepanjang proses belajar dilaksanakan. Itulah yang disebut sebagai penilaian otentik. Menilai seluruh proses belajar yang berlangsung. bukan hanya siswa yang dinilai, guru yang bersangkutan dapat menilai dirinya sendiri melalui kegiatan refleksi yang dilakukan bersama-sama antara guru dan siswa. 

Akhirnya, belajar sebagai kegiatan pengembangan literasi menuntut kreatifitas guru dan kerjasama sekolah yang baik. Dukungan sekolah kepada guru dan siswa mutlak diperlukan.