Rangking: Motivasi atau Demotivasi
Ranking. Sebuah kata yang untuk sebagian kecil orang sangat membanggakan. Kebanyakan dari kita justru, jangan-jangan malah trauma dengan kata itu. Sejauh yang saya ingat, pertama kali mengenal rangking di satuan pendidikan. Sebuah institusi yang secara formal bertugas menyemai ilmu pengetahuan untuk generasi masa depan. Tempat dimana seharusnya kita bisa menemukan pelbagai bakat unik setiap peserta didik.
Ranking; mengurutkan siswa berdasarkan prestasi akademis malah berakibat fatal,, membenamkan atau barangkali membunuh potensi-potensi sesungguhnya yang dimiliki oleh anak. Terlebih, prestasi akademik itu pun dimaknai secara sempit, hanya pada kemampuan kognitif siswa bahkan lebih buruk lagi, prestasi itu merupakan urutan pada akumulasi nilai-nilai tes formatif dan sumatif. Urutan nilai yang samasekali tidak mewakili kondisi murid yang sebenarnya.
Kita tentu bisa mengingat kembali, rekaman perjalanan sebagian kehidupan kita terutama di sekolah. Ranking 1 adalah milik mereka yang pintar atau pandai menurut kacamata sekolah. Pandangan guru-guru juga serupa. Pemilik rangking 1 adalah murid kesayangan para juru didik. Sejatinya, kalau sekolah mau melihat dengan jeli, sebenarnya si empunya rangking 1 adalah DDM (Dia Dia Mulu, hehehehe....). Dari sisi ini, semestinya sekolah menyadari ada yang salah pada proses pembelajaran di kelas, ada yang keliru pada proses penilaian yang dilakukan oleh guru. Jika semua mata pelajaran, nilai 100 dipunyai oleh selalu siswa tertentu, yakinlah, pembelajaran bukanlah sebuah kegiatan diskusi dan pengkajian ilmu melainkan transfer pengetahuan semata.
Memang, prestasi lain kadang juga dihargai. Tapi itu sebatas keikutsertaan pada lomba di luar sekolah. Kepala kita sudah kadung terpatri, pintar itu rangking 1 di kelas atau rangking 1 paralel satu sekolah. Prestasi lain pelengkap belaka. Sekolah justru sekali waktu memanfaatkannya untuk keperluan promosi. Tetapi tetap saja, unggul di bidang selain akademik belumlah dipandang sejajar dengan kasta tertinggi prestasi sekolah, rangking 1.
Saya berharap, sekolah-sekolah mulai move on, membuang jauh paradigma rangking 1 yang kering makna. Setiap anak sesungguhnya rangking 1, pada bakatnya masing-masing. Setiap kemampuan pantas untuk dihargai bukan diabaikan. Tugas sekolah adalah menggali dan menggali, mencari dan terus mencari keunggulan yang bisa dipancarkan oleh siswa-siswanya. Sekolah adalah tempat dimana anak-anak mampu mengaktualisasikan performa terbaiknya, bukan untuk menegaskan siapa yang paling pandai atau paling bodoh. Karena sejatinya, tidak ada siswa yang bodoh...
Ranking; mengurutkan siswa berdasarkan prestasi akademis malah berakibat fatal,, membenamkan atau barangkali membunuh potensi-potensi sesungguhnya yang dimiliki oleh anak. Terlebih, prestasi akademik itu pun dimaknai secara sempit, hanya pada kemampuan kognitif siswa bahkan lebih buruk lagi, prestasi itu merupakan urutan pada akumulasi nilai-nilai tes formatif dan sumatif. Urutan nilai yang samasekali tidak mewakili kondisi murid yang sebenarnya.
Kita tentu bisa mengingat kembali, rekaman perjalanan sebagian kehidupan kita terutama di sekolah. Ranking 1 adalah milik mereka yang pintar atau pandai menurut kacamata sekolah. Pandangan guru-guru juga serupa. Pemilik rangking 1 adalah murid kesayangan para juru didik. Sejatinya, kalau sekolah mau melihat dengan jeli, sebenarnya si empunya rangking 1 adalah DDM (Dia Dia Mulu, hehehehe....). Dari sisi ini, semestinya sekolah menyadari ada yang salah pada proses pembelajaran di kelas, ada yang keliru pada proses penilaian yang dilakukan oleh guru. Jika semua mata pelajaran, nilai 100 dipunyai oleh selalu siswa tertentu, yakinlah, pembelajaran bukanlah sebuah kegiatan diskusi dan pengkajian ilmu melainkan transfer pengetahuan semata.
Memang, prestasi lain kadang juga dihargai. Tapi itu sebatas keikutsertaan pada lomba di luar sekolah. Kepala kita sudah kadung terpatri, pintar itu rangking 1 di kelas atau rangking 1 paralel satu sekolah. Prestasi lain pelengkap belaka. Sekolah justru sekali waktu memanfaatkannya untuk keperluan promosi. Tetapi tetap saja, unggul di bidang selain akademik belumlah dipandang sejajar dengan kasta tertinggi prestasi sekolah, rangking 1.
Saya berharap, sekolah-sekolah mulai move on, membuang jauh paradigma rangking 1 yang kering makna. Setiap anak sesungguhnya rangking 1, pada bakatnya masing-masing. Setiap kemampuan pantas untuk dihargai bukan diabaikan. Tugas sekolah adalah menggali dan menggali, mencari dan terus mencari keunggulan yang bisa dipancarkan oleh siswa-siswanya. Sekolah adalah tempat dimana anak-anak mampu mengaktualisasikan performa terbaiknya, bukan untuk menegaskan siapa yang paling pandai atau paling bodoh. Karena sejatinya, tidak ada siswa yang bodoh...
0 Comments