Tulisan saya pernah dimuat dalam media online monitor.co.id



MONITOR - Hari ini, Senin (8/1) merupakan perdana masuk sekolah setelah libur panjang. Hari pertama sekolah (setelah libur) umumnya adalah suasana yang menyenangkan. Kerinduan akan sekolah menguatkan semangat untuk belajar dan bermain bersama kawan dan sahabat.

Tetapi, tak demikian rupanya dengan bocah kelas tiga SD bernama Rara. Memasuki awal masuk di semester dua ini, raut mukanya terlihat murung. Ia teringat pada waktu mamanya meluapkan marah sesudah penerimaan raport, menjelang libur panjang kemarin.

Sebenarnya, nilainya tidak begitu buruk. Hanya saja, rankingnya turun, dari urutan ke-enam semester sebelumnya, kali ini Rara ada di posisi ke-sepuluh. Gairahnya untuk belajar tidak juga membuncah kali ini.
Hal yang sama dialami sang kakak kelas, Devin namanya. Ia satu sekolah dengan Rara. Devin kini ada di kelas enam.

Sifatnya yang hiperaktif tidak lantas membuat semangat belajarnya meluap-luap. Berbeda sekali dengan Devin yang biasanya. Ia seolah sedang memainkan peran sebagai orang lain. Keceriaan yang selalu ia tunjukkan tidak kunjung nampak. Pikirannya menyeretnya pada ingatan yang sama dengan adik kelasnya, yaitu Rara. Ranking yang turunlah penyebabnya.

Devin serasa menelan pil pahit. Mamanya tak suka dengan kondisi itu. Usahanya untuk meraih hasil baik pada semester lalu seakan sia-sia belaka. Tidak dihargai lantaran ia gagal mempertahankan rankingnya.

Ranking adalah sebuah kata yang untuk sebagian kecil orang, barangkali sangat membanggakan. Kebanyakan dari kita justru, jangan-jangan malah trauma dengan kata itu.

Andai ingatan kita ini bisa ditelusuri kembali, mungkin kita pertama kali mengenal rangking di sekolah. Sebuah institusi yang secara formal bertugas menyemai ilmu pengetahuan untuk generasi masa depan. Tempat di mana seharusnya kita bisa menemukan pelbagai bakat unik setiap peserta didik.

Ranking; mengurutkan siswa berdasarkan prestasi akademis malah berakibat fatal, membenamkan atau boleh jadi membunuh potensi-potensi sesungguhnya yang dimiliki oleh anak.

Terlebih, prestasi akademik itu pun dimaknai secara sempit, hanya pada kemampuan kognitif siswa bahkan lebih buruk lagi, prestasi itu merupakan urutan pada akumulasi nilai-nilai tes formatif dan sumatif.

Urutan nilai yang samasekali tidak mewakili kondisi murid yang sebenarnya.
Kecerdasan bukanlah soal kita ada di rangking berapa, tetapi bagaimana kita mampu melakukan problem solving, demikian ujar Howard Gardner, penemu teori Multiple Intellegence.

Hal senada dijelaskan oleh Munif Chatib, seorang pakar Multiple Intellegence di Indonesia bahwa kondisi terbaik seseorang di masa mendatang adalah bagaimana bakat seseorang itu mampu diwujudkan dengan karya-karya berbudaya.

Penulis buku “Sekolahnya Manusia” itu mengatakan tugas sekolah adalah menemukan bakat anak sedari awal. Guru adalah pencari bakat itu, ia yang bertugas memberikan stimulus agar potensi kecerdasan siswa muncul.

Rupanya hal itu tidak berlaku bagi Rara dan Devin. Rangking menjadi target orangtuanya. Barangkali, kita pernah mengalami momen yang sama dengan Rara dan Devin, dalam rekaman perjalanan sebagian kehidupan kita di sekolah.

Ranking satu adalah milik mereka yang pintar atau pandai menurut kacamata sekolah. Pandangan guru-guru juga serupa. Pemilik rangking satu adalah murid kesayangan para juru didik. Sejatinya, kalau sekolah mau melihat dengan jeli, sebenarnya si empunya rangking satu senantiasa orang yang sama.

Dari sisi ini, semestinya sekolah menyadari ada yang salah pada proses pembelajaran di kelas, ada yang keliru pada proses penilaian yang dilakukan oleh guru. Jika semua mata pelajaran, nilai 100 dipunyai oleh selalu siswa tertentu, yakinlah, pembelajaran bukanlah sebuah kegiatan diskusi dan pengkajian ilmu, tetapi transfer pengetahuan semata.

Memang, prestasi lain kadang juga dihargai. Tapi itu sebatas keikutsertaan pada lomba di luar sekolah. Kepala kita sudah kadung terpatri, pintar itu rangking satu di kelas atau rangking satu paralel satu sekolah. Prestasi lain pelengkap belaka.

Sekolah justru sekali waktu memanfaatkannya untuk keperluan promosi. Tetapi tetap saja, unggul di bidang selain akademik belumlah dipandang sejajar dengan kasta tertinggi prestasi sekolah, rangking satu.

Masa depan yang gemilang adalah milik semua anak, bukan dikhususkan untuk segelintir siswa tertentu, apa lagi spesial untuk si peraih ranking satu. Masa depan yang cerah adalah hak setiap anak. Sudah saatnya sekolah-sekolah move on, membuang jauh paradigma rangking satu yang kering makna.

Setiap anak sesungguhnya rangking satu, pada bakatnya masing-masing. Setiap kemampuan pantas untuk dihargai bukan diabaikan. Tugas sekolah adalah menggali dan menggali, mencari dan terus mencari keunggulan yang bisa dipancarkan oleh siswa-siswanya.

Sekolah adalah tempat di mana anak-anak mampu mengaktualisasikan performa terbaiknya, bukan untuk menegaskan siapa yang paling pandai atau paling bodoh. Karena sejatinya, tidak ada siswa yang bodoh.