Active Learning: Solusi Kreatif Mengelola Kelas Dalam Pembelajaran
Guru merupakan profesi yang tidak mudah. Anggapan bahwa
orang yang telah menjalani profesi guru bertahun-tahun, lalu dianggap guru
berpengalaman, cakap dan baik, menurut saya keliru. Dalam konteks yang luas,
semua orang bisa menjadi guru; orang yang mampu memberikan teladan dan nasihat
yang baik, bisa dianggap sebagai guru. Alam sekitar bisa menjadi guru. Juga,
hal apapun yang memberikan kesadaran positif pada kita adalah guru, seperti
pada ungkapan “pengalaman adalah guru
yang terbaik”. Tetapi, sejatinya, menjadi guru di sebuah sekolah bukanlah
perkara gampang.
Menjadi seorang guru haruslah menjadi pembelajar sejati
seumur hidup. Sungguh sayang jika seorang guru—kalau tidak boleh saya katakan
malas—tidak suka membaca. Memprihatinkan seandainya guru
tidak mau membuat perencanaan pembelajaran (lesson
plan) secara mandiri, hanya menyalin (copy
paste) RPP yang sudah jadi—itupun dari internet—tanpa dikembangkan pula.
Sedih rasanya jika seorang guru menjadikan profesinya justru hanya sebagai
kerja sambilan; mengajar hanya kegiatan rutin yang dianggap sudah sangat
terbiasa sehingga tidak memerlukan persiapan yang berarti. Jika guru mempunyai
karakter seperti itu, maka peserta didik akan menjadi korbannya.
Uraian di atas tidak hendak mengabaikan jasa-jasa para
guru dahulu. Tentu kita sangat menghormati jasa-jasa mereka. Namun tidak bisa
dipungkiri, dulu pembelajaran dilakukan dengan metode konvensional (ceramah).
Pembelajaran yang lebih berpusat pada guru bukan pada siswa. Kreatifitas siswa
terpasung. Potensi kecerdasan siswa terpenjara. Pembelajaran berlangsung hanya
satu arah. Pembelajaran berorientasi pada nilai daripada proses belajar itu
sendiri. Pada akhirnya, perhatian guru pun menyempit, hanya pada siswa yang
nilainya selalu di atas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Siswa yang nilainya
selalu di bawah KKM kurang mendapat perhatian. Padahal, mereka mempunyai
potensi kecerdasan yang sama tetapi pada bidang yang lain; kesenian, olahraga, mendongeng,
berpuisi, santun dalam pergaulan dan potensi-potensi lain yang harusnya tidak
kita nafikan.
Sayangnya, banyak guru saat ini yang masih mewarisi
paradigma lama, menggunakan metode belajar konvensional. Metode belajar yang
diyakini sudah tidak sesuai dengan perkembangan siswa. Padahal, perkembangan
dan pola pikir anak sekarang dengan dulu sudah jauh berbeda. Maka, pendekatan
yang harus dilakukan oleh guru mestinya juga harus berbeda. Kita sebagai guru
mesti kreatif merancang strategi-strategi pembelajaran yang lebih mementingkan
proses belajar siswa daripada hasil akhir. Sebagai pendidik kita percaya bahwa
kegiatan belajar itu perlu dilakukan demi belajar itu sendiri, dan tujuan
utamanya adalah untuk mendidik siswa menjadi manusia seutuhnya. Hal ini
memerlukan kemauan kuat para guru untuk beralih ke paradigma baru. Meskipun,
ini menjadi tantangan tersendiri bagi guru. Seorang ekonom besar, John Maynard
Keynes pernah mengingatkan, ”kesulitan
riil dalam mengubah segala perusahaan terletak bukan dalam mengembangkan ide
baru, melainkan beralih dari ide-ide lama”. Nampaknya bukan saja di
perusahaan, pemikiran seperti itu terjadi juga di banyak sendi kehidupan, tak
terkecuali pendidikan.
Mengapa
Harus Active Learning?
Apa hal yang paling kita ingat pada waktu SD atau SMP? Di
antara kita mungkin akan menjawab: waktu menanam kecambah, mencetak gol pada
pertandingan sepakbola, pertama kali mengenal dan menggunakan mikroskop, mencangkok
pohon jambu, membaca puisi di depan kelas,
waktu ‘mencari jejak’ pada
kegiatan perkemahan. Aktivitas yang menuntut keterlibatan fisik dan mental
adalah hal yang paling sering kita ingat.
Demikianlah seharusnya proses pembelajaran berlangsung,
melekatkan materi pembelajaran pada benak siswa melalui kegiatan nyata. Proses
pembelajaran tidak selalu harus di dalam kelas dan siswa duduk manis
mendengarkan ceramah guru. “Kita dapat
menceritakan sesuatu kepada siswa dengan cepat. Namun siswa akan melupakan apa
yang kita ceritakan itu dengan lebih cepat,” demikian diungkapkan oleh
Melvin L. Siberman. Belajar bukanlah proses menuangkan air pengetahuan ke dalam
gelas kosong. Belajar adalah proses menyiram dan memupuk kecambah yang sudah
punya bakat untuk tumbuh dengan subur.
Metode belajar aktif (acvtive
learning) merupakan metode belajar yang mampu mengakomodasi potensi yang
dimiliki siswa. Karena siswa bukan saja aktif secara fisik melainkan secara
mental dan berpikir kritis. Seperti dinyatakan oleh Konfusius ribuan tahun
silam: “yang saya dengar, saya lupa. Yang
saya lihat,
saya ingat. Yang saya kerjakan,
saya pahami”. Pernyataan
sederhana yang berbicara banyak tentang perlunya belajar aktif.
Pengalaman penulis sebagai guru matematika misalnya. Pada
pembelajaran persamaan garis lurus, untuk menentukan gradien (kemiringan garis) saya meminta siswa mengukur tingkat
kemiringan tangga yang berada di lingkungan sekolah. Lalu, muncullah pertanyaan-pertanyaan
kritis: kenapa tingkat kemiringan tangga dibuat berbeda-beda, apakah ada aturan
baku pada bangunan tertentu tentang kemiringan tangga? Lalu, ada siswa yang
mencari informasi di internet, ternyata di Australia gradien diatur secara
baku. Ada undang-undang yang mengatur tentang kemiringan tangga pada bangunan, jalan,
dan tempat-tempat lain karena ini berkaitan dengan tingkat keamanan dan
kenyamanan. Menurut mereka, undang-undang tentang gradien tidak dijumpai di
Indonesia. Aturan seperti itu hanya dibuat oleh perancang bangunan itu sendiri.
Saya makin tertarik. Luar biasa, siswa saya makin kritis.
Kemiringan garis adalah materi kelas VIII. Sekarang
setelah siswa-siswa saya kelas IX mereka bahkan mengatakan tidak perlu
mengingat rumus tentang gradien. Karena yang mereka ingat adalah gradien
merupakan perbandingan jarak tegak dan jarak mendatar pada garis lurus. Dan,
mereka telah mempraktikannya dalam pembelajaran. Alhasil, sebagaimana pesan
Konfisius, melalui belajar aktif materi pembelajaran akan lebih mudah dipahami.
0 Comments