Membaca bukunya Hernowo; “mengikat makna update” terasa seperti dihajar habis-habisan. Betapa tidak, dari membaca buku tersebut mata hati jadi terbuka. Otak tak lagi beku. Meleleh dan pasrah meluapkan cairan makna yang sempat mengkristal. Saya seperti diberikan kunci untuk mengurai simpul yang telah mengikat terlalu kuat dan mengarah ke kusut. Layaknya berada dalam gua kegelapan yang tak pernah tahu arah, tiba-tiba ada setitik berkas cahaya memberi keluasan pandangan, membuka tabir kelam. Dan, ikatan yang kusut itu, kegelapan yang legam tersebut dirilah penyebabnya. 

“Mengikat makna” layaknya jimat untuk menjadi diri sepenuhnya. Senjata paling ampuh adalah diri yang sejati. Mengalahkan nafsu diri adalah kemenangan sejati. Banyak sekali pertanda, tak sedikit peringatan, melimpah jumlah makna di balik kehidupan, namun kesadaran yang tertutupi oleh kedustaan, kemalasan, dan keserakahan membentangkan tabir gelap pekat. Sehingga kebeningan jiwa ternodai. Otak menjadi seolah penuh sesak.

Hernowo, dengan kepiawaiannya, mumpuni merangkai kata demi kata menjadi kalimat. Kalimat menjadi sebuah paragraf. Paragraf menjadi satu kesatuan buku yang padu. Ia kasih label “mengikat makna”. Penuturannya begitu mengalir lembut. Saya yakin, siapapun jika membaca karyanya yang mengalir dan santun akan marah pada diri sendiri.

“Mengikat makna” adalah penjabaran lengkap dari perkataan sang pemuda hebat Ali Bin Abi Tholib. Pemuda yang merelakan nyawanya untuk keselamatan panutan manusia sejagat. Pesannya yang sangat terkenal di tegaskan kembali oleh Hernowo dan dijabarkan dengan sangat apik. Pesan itu adalah “ikatlah ilmu dengan menuliskannya”. Pesan pendek tapi bermakna luas dan mendalam. pantas, kemudian Nabi mengatakan bahwa:”saya adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunnya”.

Membaca buku “mengikat makna”  layaknya sedang menertawakan diri sendiri, seakan jari telunjuk sedang menohok orang lain sementara keempat jari lainnya mengarah tepat di dada sendiri. Bahkan, menusuk jauh ke relung kesadaran diri. Tertawa itu berangsur berubah menjadi senyum penyesalan. Akhirnya, airmata mewakili kelemahan diri tersebut.

Sayalah diri itu, sayalah yang bodoh, saya yang penuh dusta, saya yang tak berkaca, saya yang hitam pekat, saya yang serakah, saya yang malas. Dan, saya yang diam saja. Masih bisa saya deretkan lagi berpuluh kata negatif untuk diri saya sendiri. Dengan membaca senjata ampuhnya Hernowo, “mengikat makna”, saya ingin secepatnya melempar jauh semua itu, satu per satu. Seandainya bisa, malah, ingin lekas saya gulung, menjadi bulat seperti bola, biar saya tendang semuanya sekaligus. jika perlu, saya ingin meminjam kakinya CR-7 untuk membantu membuang penderitaan yang dimotori oleh diri pribadi.

Membaca buku Mengikat makna adalah jurus untuk meluruhkan kemalasan. Kemalasan untuk membaca, kemalasan untuk mencoba menulis. Para sahabat senja yang budiman….heheheeee….jikalau ingin menghapus kemalasan itu, silakan datang di warung baca “sahabat Senja”. Menu bacaan Mengikat makna nya Hernowo sangat enak untuk dinikmati otak kita. menu bacaan yang gratis. Tapi, menu pendamping bacaanya bayar ya…..secangkir kopi yang menginspirasi.heheheehheeeee….