Aksi Ekstrimis Islam Di Hadapan Rasul
Belakangan ini, aksi saling klaim kebenaran atas nama
agama masih terus terjadi. Wajah islam yang humanis, menjunjung nilai-nilai
keadaban semakin diuji.
Tindakan saling menghujat sangat terasa di ruang-ruang
digital. Media sosial menjadi sarana untuk meluapkan khotbah-khotbah agama yang
dibalut narasi kebencian. Kebenaran dihayati dengan takaran rasa, bukan
timbangan nalar.
Organisasi massa bernuansa islam moderat sebesar NU dan
Muhammadiyah tak luput dari sasaran tembak, hujatan, makian dan fitnah kerap
dialamatkan kepada para tokoh kedua organisasi itu.
Sejarah pada dasarnya telah merunutkan pola yang mudah
dipahami, ketika kepentingan politik, nafsu berkuasa telah menjadi raja di
dalam dada, agama dihunus laiknya pedang sang panglima perang. Pemahaman agama
diracik dan diolah atas nama kepentingan semata. Korbannya? Adalah mereka yang
awam.
Lalu, dari sana lahirlah sikap ekstrem. Bagi mereka yang
hanyut terjerembab pada pemahaman agama yang dangkal, agama wajib dibela
walaupun harus memukul saudara seiman. Kebenaran baginya adalah apa yang mereka
pahami, selainnya, bila perlu katakan sesat dan kafir.
Dalam bukunya, “Tasawuf
Sebagai Kritik Sosial”, KH. Said Aqil Siroj menjelaskan, Sahabat Ali bin
Abi Thalib termasuk korban keganasan kelompok ekstrem umat islam. Pada hari
Jum’at tanggal 17 Ramadhan tahun 40 Hijriah, khalifah Ali ibn Abi Thalib
dibunuh oleh Abdurrahman Ibn Muljam, seorang muslim yang taat beribadah.
Abdurrahman Ibn Muljam masuk dalam komunitas ekstrem yang
dikenal dengan paham khawarij, kelompok islam sempalan yang juga sempat
menghukumi Ali Ibn Abi Thalib kafir. Pasalnya, sahabat Ali Ibn Abi Thalib
dianggap telah melakukan pelanggaran agama yaitu menerima hasil perundingan
dengan pihak Mu’awiyah.
Prinsip “la hukma
illallah” (tidak ada hukum kecuali Allah) menjadi alat untuk memvonis
kelompok di luar mereka sebagai kafir. Semasa hidupnya, Ali Ibn Abi Thalib
pernah mematahkan prinsip yang dianut khawarij itu dengan kata-kata singkat, “Qaul haqq urida bihil bathil” (untaian
kata yang benar, namun ditujukan untuk kepentingan yang batil dan tendensius).
Masih menurut KH. Said Aqil Siroj dalam bukunya, rupanya
Jauh sebelum peristiwa pembunuhan sahabat Ali Ibn Abi Thalib, Rasulullah SAW
sudah memberikan gambaran sebagai prediksi akan munculnya kalangan islam garis
keras yang mengamalkan ajaran-ajaran islam tekstualis.
Dikisahkan, pada bulan syawal tahun 8 Hijriyah, kala Nabi
SAW baru saja memenangi perang Thaif dan Hunain. Pasca peperangan, ghanimah (harta sitaan perang) dibagikan
di Ja’ranah. Sahabat-sahabat Nabi yang senior seperti Abu Bakar, Umar, Utsman,
Ali, Sa’ad dan lainnya tidak mendapatkan ghanimah,
sementara sahabat yang baru masuk islam, seperti Abu Sufyan mendapatkan bagian
walaupun ia tergolong kaya.
Tak lama berselang, adalah Dzul Khuwaishirah, seseorang
dari keturunan Bani Tamim tampil ke depan dengan congkaknya sambil berkata,
“berlaku adillah hai Muhammad!”. Lalu Nabi SAW berkata : “celakalah kamu, siapa
yang akan berbuat adil jika aku saja tidak berlaku adil?”. Di belakang Rasul,
Umar siap dengan pedangnya berhasrat memenggal leher orang itu. “Wahai
Rasulullah, biarkan ku penggal saja lehernya”, kata Sahabat Umar. Nabi
menjawab, “biarkan saja”.
Setelah Dzul Khuwaishirah berlalu, Rasulullah SAW
bersabda : “akan lahir dari keturunan
orang ini kaum yang membaca Al-Qur’an, tetapi tidak sampai melewati batas
tenggorokannya (tidak memahami subtansi Al-Qur’an). Mereka keluar dari agama islam seperti anak panah tembus keluar dari
(badan) binatang buruannya. Mereka memerangi orang islam dan membiarkan para
penyembah berhala. (HR. Muslim pada kitab Az-Zakah, bab Al-Qishmah).
Kelancangan seorang Dzul Khuwaishirah yang menuduh Rasul
tidak berlaku adil dan kebiadaban Abdurrahman Ibn Muljam dan kelompoknya yang
membunuh Ali Ibn Abi Thalib adalah contoh nyata dari pemahaman islam yang
legal-formal, jauh dari pemaknaan subtantif. Padahal, Al-Qur’an tidak pernah
melegitimasi sikap ekstrem dan melampaui batas.
0 Comments