Antara Curi Motor dan Curi Perhatian
Peristiwa-peristiwa pencurian motor (Curanmor), modus yang
dipakai oleh pelaku banyak. Tempat-tempat yang sepi biasa jadi incaran utamanya, misalnya : depan rumah, kos-kosan, tempat
belanja, masjid dan lain-lain.
Pelaku pencurian motor yang satu ini, tergolong unik. Ia
mengecoh warga yang kebetulan sedang berkumpul nonton bareng liga Inggris.
Barangkali dipikirannya tempat sepi bukanlah tantangan dalam melakukan aksi.
Entahlah. Itu dibenak saya saja. Karena, pelaku yang saya ceritakan ini cukup
nekat. Dia mencuri justru di lokasi yang terbilang ramai.
Ceritanya begini, pencuri ini tanpa beban sembari santai,
negeloyor saja lewat di depan warga yang kala itu sedang nobar. Hanya bermodal
satu kata “permisi”, si pencuri dibiarkan melenggang tanpa satu pun warga
berusaha mengenali wajahnya atau minimal bertanya, “mau ke mana?”. Satu pun
tidak ada.
Selang sebentar, dalam hitungan kurang dari lima menit,
pemuda yang kemudian dapat label maling dari warga ini melintas dengan motor
curiannya, berikut helm yang saat itu diletakkan di motor itu juga. Baru
sekejap ia melintas, dari dalam kos-kosan tiga mahasiswa teriak, “maling”,
seperti bersahut-sahutan. Sontak, warga yang lagi nonton bola pun kaget dan
berusaha mengejar. Apa daya, hukum teknologi berlaku. Kemudahan dan kecepatan
itu kan salah satu tujuan teknologi. Kejaran warga tak sebanding dengan
kecepatan motor yang yang dikendarai pencuri tadi.
Masyarakat dengan karakter mudah luruh hati itu jamak.
Luruh hati tentu tak salah, tetapi luruh hati yang berlebih buktinya berakibat
fatal. Warga tidak mau bertanya samasekali, padahal paras si pelaku nyata-nyata
tidak familiar.
Rupanya metode mengelabui warga juga kerap dilakukan para
politisi. Tentu bukan untuk mencuri motor, tapi mencuri perhatian. Yang mana duluan
menggunakan cara itu, pencuri motor atau politisi, saya jelas tidak tahu.
Menjadi politisi tiba-tiba rajin bersapa-ria kalau ketemu
warga, saat momen pilkada akan digelar. Raut mukanya teduh, kata-katanya ditata
dan lembut. Layaknya kata “permisi” sang pencuri motor. Apa lagi, didandan
begitu rupa, bajunya sesuai tradisi lokal atau yang relijius.
Politisi yang tidak pandai bercakap dengan tutur yang teratur, terkesan arogan, habislah. Walaupun track recordnya bagus, tak ada ampun.
Masyarakat yang gampang dibuai tidak bakalan meneliti lebih jauh. Persis
seperti warga yang dilintasi pencuri motor. Tak perlu Tanya mau apa, ke mana.
Politisi yang hapal karakter masyarakat seperti ini tentu
senang, mereka tidak akan banyak bertanya apa programnya, mau ke mana kita
dibawa. Cukup meniru cara sang pencuri motor. Lawan yang sudah pengalaman
sekalipun, kalau dia tidak pintar menata lisannya, mukanya seperti orang marah, gilas
saja. Bila perlu kemas opini bahwa sang lawan tak pantas jadi pemimpin, bumbui
dengan dalil agama, viralkan. Bila dirasa belum cukup, sambangi masjid.
Tahun ini, gelaran kontestasi pilkada serentak di 171
daerah akan mengawali tahun politik yang lebih besar lagi, yakni pemilu 2019.
Strategi para kontestan diharapkan tidak menggunakan kampanye hitam. Mencuri perhatian pastilah tak
seburuk mencuri motor. Hal itu boleh, layaknya mencuri perhatian sang kekasih.
Mencuri perhatian disertai niat yang tidak baik, dibarengi dengan menyerang
lawan menggunakan SARA terang tak elegan.
Kesejahteraan masyarakat haruslah jadi tujuan. Keadilan
harus ditegakkan setegak-tegaknya, kayak liriknya bang Iwan Fals.
0 Comments