Menyeruput Kopi Misterius
Semarang ke Slawi, menggunakan kereta Kamandaka dengan waktu tempuh sekitar tiga setengah jam. Ini perjalanan saya pulang setelah sebelumnya dari Slawi ke Semarang, besuk bapak yang kini dirawat di rumah sakit Dr. Kariadi Semarang.
Kemarin, tiba di stasiun Poncol saya tidak sempat "ngaso", dari situ saya langsung ke rumah sakit. Pagi tadi, setelah mendengar ceramah agama dari bapak ojeg online, tepat si bapak yang bangga banget dirinya muslim menghentikan sepeda motornya di pintu masuk stasiun, sambil memandangi beranda stasiun, saya sampai lupa apa kalimat penutup si bapak tadi. Maklum, mata dan otak sedang digilai sedapnya aroma kopi Nusantara.
Usai menyetak tiket kereta, saya menyambangi kios kopi. "Silahkan pak...", Sambut pelayan toko. "Ada kopi apa aja, mbak...", Tanya saya. "Ada kopi hitam, kopi susu, capuccino", balasnya. "Kopi hitamnya ada kopi aja mbak", saya mulai penasaran. "Maksudnya?", Si pelayan toko bingung. Saya menjelaskan: "maksudnya kopi yang khas di Semarang apa gituh, ato kopi dari daerah lain, barangkali ada". Tegas dijawab: "gak ada pak, kopi hitam biasa aja". "Mbak tau mereknya?", Tanya saya. "Ennngggaak pak, udah dari tokonya begitu, saya tidak tahu itu kopi apa". Si mbaknya cengar-cengir. "Ya udah, yang ada aja mbak, kopi hitamnya, jangan terlalu manis ya...", Pinta saya.
Sekali lagi, bukannya tidak suka, saya tetep suka dengan kopi yang saya pesan, meski tidak tahu itu kopi apa. Dari rasanya, sebenarnya saya tahu itu kopi apa.hehehehehe....
Bukan apa-apa, selalu ada pelajaran yang bisa saya ambil. Kita ini, entah di lembaga swasta maupun di lembaga milik pemerintah, ketidakpastian pelayanan itu seolah biasa saja, wajar. Umumnya kita memaklumi, kayak saya tadi. Dengan membayar harga yang terbilang mahal untuk segelas kopi yang saya udah tahu itu kopi apa, sementara si pelayan enggan kasih tahu ato memang tidak tahu itu jenis kopi apa.
Kita tentu tahu, salah satu yang menyebabkan ojeg pangkalan tergerus oleh ojeg online adalah adanya kepastian. Kepastian harga, kepastian waktu dan kepastian keamanan. Ojeg pangkalan tidak menawarkan kepastian itu.
Belajar dari perjalanan ini, saya berharap bisa mulai dari diri sendiri. Menjadi pelayan yang melayani. Karena ada juga pelayan yang tidak melayani. Seandainya kita memiliki tabiat melayani, maka ngurus apa saja, beli apa saja, singgah di mana saja, akan mudah, hemat, pastinya menyenangkan.
Yang mau ngopiiiii di warung kopi baca Sahabat Senja, saya siap menjadi pelayan yang melayani..... monggo diseruput sedulur Kabeh....
0 Comments