Dampak dari "perburuan" siswa baru oleh sekolah negeri
Adalah hal yang lumrah para orangtua mengerutkan jidatnya karena pengeluaran anggaran belanja rumah tangga pasti membengkak menyambut hajatan pendidikan anaknya, yaitu masuk ke sekolah baru. Dari SD ke SMP dan dari SMP ke SMA.
Yang tidak lumrah adalah anggaran yang mereka siapkan rupanya tak cuma untuk belanja seragam dan buku. Tetapi, tingginya uang pangkal juga harus jadi tanggungan yang kerap memperlambat laju edaran darah, seorang kepala rumah tangga seringkali merasa pusing mendadak karena alasan itu.
Hal tersebut dirasakan oleh orangtua yang anaknya mendaftar ke sekolah swasta. Ada dua jenis sekolah swasta. Pertama, sekolah swasta mahal, orangtua yang memutuskan sekolah swasta ini sebagai pilihan, adalah orangtua dengan kondisi ekonomi mapan. Alasannya bisa beragam, ada yang memandang sekolah ini laiknya perusahaan jasa, "dengan biaya tinggi, saya berhak mendapatkan pelayanan yang baik, termasuk guru-guru berkualitas agar lulus dari sini, anak saya punya daya pikir, daya seni dan berkarakter pula". Demikian kira-kira alasan dalam benak orangtua tadi. Harapannya, biaya tinggi yang ia keluarkan berbanding lurus dengan hasilnya.
Kedua, sekolah swasta tidak mahal. Orangtua yang memilihnya memiliki kondisi ekonomi menengah atau bawah plus anaknya tidak diterima di sekolah negeri. Alasannya sederhana, "yang penting anak saya sekolah, daripada saya curang, harus membayar mahal oknum yang "menjual" kursi kosong".
Sekolah swasta yang mahal maupun tidak mahal sama-sama perang promo lewat program yang ditawarkan untuk menggaet siswa baru dengan sasaran pasar yang berbeda tentunya. Mereka berlomba seperti itu karena operasional sekolahnya mengandalkan dana yang diperoleh dari uang pangkal dan SPP dari siswa. Jadi, semakin banyak siswa, dana operasional sekolah tertutupi bahkan lebih sebagai keuntungan pengelola.
Kewajaran semacam itu dipahami betul oleh masyarakat yang menjadi pangsa pasar sekolah swasta. Tak mungkin sekolah swasta hanya bergantung pada dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) saja. Jika tidak memungut iuran dari walimurid, taruhannya adalah kualitas pendidikan di sekolah tersebut.
Berbeda dengan dua jenis sekolah swasta di atas, sekolah negeri di sejumlah daerah tertentu juga punya cerita, hehehe....
Rupanya, di jaman yang serba terbuka dan berbasis teknologi, oknum pendidik yang punya niat tidak baik tetap saja ada. Tahun ajaran yang lalu, seorang ibu rumah tangga bercerita pada saya bahwa ia ditelpon langsung oleh oknum yang mengaku bisa memasukkan anaknya ke sekolah Negeri asal mau membayarkan sejumlah uang. Dan, bukan hanya dia. Teman-teman ibu-ibu yang lain juga mengalami hal serupa.
Kenyataan lain juga membuat saya tertegun, "masak sih....?". Seorang ibu walimurid bertutur bahwa waktu pendaftaran online, kuota yang tertera menunjukkan angka tertentu, semisal 200. Setelah anaknya dinyatakan diterima di sekolah negeri, si ibu bertanya pada anaknya: "berapa total siswa yang diterima di sekolahmu, dek?". Menurut anaknya, ada lebih dari yang ditetapkan di kuota pada saat dia mendaftar. Apa artinya?
Ternyata, sekolah negeri pun "berburu" siswa baru lewat jalur lain demi keuntungan pribadi oknum yang tak bertanggungjawab. Tetapi, sebagaimana lazimnya kejahatan korupsi, pasti oknum ini tidak berdiri sendiri, ia bersama oknum-oknum yang lain.
Sekolah negeri memang sedang menjadi idola, tanpa jualan program pun peminat sekolah negeri tetap membludak. Pasalnya, penyelenggaraan pendidikan di sekolah negeri ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. Tidak ada uang SPP yang dipungut, tidak pula uang pangkal yang dibebankan. Kecuali sekolah mengakal-akalinya dengan istilah lain. Terang, kondisi demikian dimanfaatkan oleh jenis manusia yang otaknya agak korslet. Alhasil, sejumlah sekolah negeri ditengarai menerima murid baru melebihi kuota yang sudah ditetapkan.
Dampak dari praktik curang ini, pertama, sekolah negeri lupa diri untuk menjaga kualitas. Amanah walimurid yang menitipkan anaknya juga terabaikan. Contoh paling nampak adalah hasil Ujian Nasional, sekolah negeri terpaksa tumbang tak kuasa bersaing dengan sekolah swasta. Urutan teratas pencapaian terbaik UN-nya adalah sekolah swasta. Logika sederhana kawan saya begini: penyelenggara UN adalah pemerintah. Seharusnya, sekolah pemerintah lah penguasa ranking tertinggi UN.
Kedua, ada sekolah swasta yang gulung tikar akibat tidak ada siswa baru yang mendaftar.
Ketiga, dikotomi alamiah sekolah swasta mahal, sekolah swasta tidak mahal dan sekolah negeri (tidak mahal tapi juga tak berarti murah), mempertegas bahwa pendidikan di negara kita ini sangat transaksional. Sekolah kehilangan marwahnya sebagai tempat penyemai benih-benih muda generasi bangsa. Kualitas pendidikan ditentukan dengan seberapa besar orangtua sanggup membayar.
Keempat, karena bersifat transaksional, guru dan orangtua walimurid sulit bekerjasama. Orangtua merasa sudah membayar, maka tanggungjawab karakter anak ada pada guru.
Solusinya, pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terkait penerimaan siswa baru perlu diperketat. Pelibatan masyarakat sebagai pihak yang independen pada waktu proses pendaftaran murid baru sangat urgen.
Selain itu, batasi kuota peserta didik baru pada sekolah negeri. Idealnya, satu rombongan belajar (rombel) berkisar 25 sampai 30 siswa. Sementara, masih banyak sekolah negeri yang memaksakan hingga 40 siswa dalam satu kelas.
Berikan kesempatan pada swasta untuk turut berperan dalam penyelenggaraan pendidikan berkualitas. Lakukan pembinaan yang serius dan berjenjang untuk guru-guru sekolah swasta. Terutama untuk sekolah-sekolah yang kurang memberikan pelatihan dan pembinaan guru di internal yayasan pengelola sekolah swasta.
0 Comments