Pernyataan itu sangat mudah dibantah dengan menggunakan perspektif lain. Jika kita mau menilik kualitas pendidikan dengan acuan nilai UN, setidaknya hasil Ujian Nasional tingkat SMP di propinsi Banten yang saya tunjukkan datanya melalui foto di bawah ini, membuktikan pernyataan di atas. Sekali lagi, tolokukurnya adalah nilai UN, bukan yang lain. Bagaimana di propinsi lainnya?

Jumlah seluruh sekolah (SMP) yang terdaftar di propinsi Banten adalah 1408 sekolah. Peringkat 1 sampai dengan 50 didominasi oleh sekolah yang berlabel non Islam. Bagaimana tanggapan anda?

Saya sempat melakukan survey di sejumlah grup WA terkait fakta itu. Responden yang saya ajukan pertanyaan seluruhnya muslim. Saya meminta tanggapan bebas berkenaan dengan data hasil UN tingkat SMP di propinsi Banten.

Lebih dari lima puluh tanggapan saya peroleh. Hasilnya saya simpulkan sebagai berikut :
Faktor siswa
1.  Kemampuan ekonomi orangtua di sekolah non Islam lebih tinggi
2. Di sekolah non islam, siswanya sudah terbiasa dengan soal-soal yang tingkat kerumitannya lebih tinggi
3. Dukungan orang tua maksimal, misal, orangtua melengkapi belajar mereka dengan menggunakan jasa guru les
4. Siswa-siswanya lebih cerdas

Faktor sekolah
1. Fasilitas di sekolah berlabel non Islam lebih lengkap
2. Memiliki desain kurikulum sendiri
3. Kurikulum mereka mengikuti kurikulum luar negeri semisal, Singapura, Cambridge dll
4. Memiliki perancang kurikulum yang betul-betul handal
5. Peraturannya lebih ketat

Faktor guru
1. Guru pengajar sudah sesuai dengan keahlian, sementara di sekolah Islam masih terdapat guru yg mengampu pelajaran yg tidak sesuai dengan bidang keahliannya
2. Gaji guru di sekolah non Islam lebih tinggi
3. kurangnya keselarasan antar sesama guru di sekolah Islam

Faktor lain
1. Allah sengaja memberikan keunggulan pada umat non muslim, tetapi keunggulan sesungguhnya nanti di akhirat. Jadi, yang terpenting bagi umat Islam bukanlah kemenangan di dunia melainkan di akhirat.

Perlu saya jelaskan juga, responden yang memberikan tanggapan ini adalah sejumlah guru dan beberapa mahasiswa Fakultas Pendidikan. Anda yang membaca ini, silakan menafsirkan tanggapan2 tersebut dengan perspektif masing-masing.

Menurut saya, pendapat2 tersebut lebih berat menengok ke luar daripada melihat ke dalam. Ada kesan tersirat, yang hendak dikatakan adalah 'pokoknya' sumber daya di sana lebih unggul daripada sini. Kesan ini menunjukkan  ketidakjernihan dalam melihat persoalan. Akibatnya, kita tidak bisa melangkah untuk memperbaiki diri. Padahal, ibarat kita menuduh seseorang dengan mengarahkan satu jari telunjuk, bukankah ada empat jari menunjuk tepat di dada kita.

Apa artinya? Sumber masalah sesungguhnya ada pada kita, sumber daya yang menjalankan sekolah-sekolah berlabel Islam. Pendapat yang mengarah pada perasaan rendah diri itu berdampak pada ketidakmauan untuk berubah menjadi lebih baik. Saya pribadi berpendapat, tak penting siapa yang lebih unggul. Pendidikan itu melintasi sekat batas identitas, termasuk agama. Bertalian dengan kualitas output yang dihasilkan, kreatifitas pengelolaan kuncinya.

Bagaimanapun, meski bukan satu-satunya, UN masih menjadi alat ukur keberhasilan sekolah dalam membentuk generasi yang cerdas. Jika umat muslim terus menyalahkan orang lain, jangan heran, generasi yang terbentuk adalah generasi inferior, kurang percaya diri.

Andai kita tarik ke wacana kekinian, jika jalanya pendidikan di sekolah-sekolah Islam tidak lekas dibenahi, suatu saat umat muslim hanya bisa teriak-teriak di siang bolong ketika segala rupa teknologi dikuasai non muslim.

Sekolah-sekolah Islam harus move on, langkah-langkah perbaikan menuntut segera dilakukan. Ilmu pengetahuan bukan milik penganut agama tertentu. Siapa yang terus menggali dan belajar, ialah yang menang bahkan mampu memandu jalannya waktu.

Bagi saya, beberapa hal bisa dilakukan. Pertama, akuilah secara jujur bahwa banyak hal belum  dilakukan. Sekolah-sekolah Islam perlu berkaca, petakan masalah yang menjadi kelemahan lalu diskusikan dengan stakeholder yang ada. Kesulitan akan mudah terurai jika dimulai dari sikap jantan, jujur mengakui kekurangannya selama ini.

Kedua, tetapkanlah visi yang idealis, uraikan dalam misi yang realistis. Sudahi niatan membuat visi misi sebagai pemanis dan pajangan belaka. Apa yang menjadi misi sekolah, senyawakan dalam pembelajaran. Berikan juga indikator-indikator yang terukur atas capaian misi yang dimaksud.

Sebagian mungkin akan mengatakan bahwa toh kami tidak mengejar nilai UN karena bukan satu-satunya alat ukur kualitas pendidikan. Itu sah saja, faktanya, pasca lulus kebanyakan siswa masih merasa bingung, siapa saya, bakat saya apa, apa yang perlu saya kembangkan kaitan dengan potensi dirinya. Itu berarti, tidak ada capaian apapun.

Ketiga, stop mengatakan "mereka itu orang kaya, maka anak-anaknya juga cerdas. Itu wajar, lantaran akses informasi mudah mereka dapatkan". Sumber belajar itu sangat banyak, hanya dibutuhkan niatan yang tulus untuk terus menggali metode dan sumber belajar yang beragam. Tidak melulu harus melalui internet. Kemauan membaca intinya.

Terakhir, tulisan ini tidak sedang memperjuangkan sekolah-sekolah Islam agar bisa bersaing dan mengungguli sekolah non Islam. Pendidikan hakikatnya sama saja, soal bagaimana melayani kebutuhan siswa agar potensi dirinya mampu mewujud dalam sebuah karya berbudaya. Sekolah yang mampu menggapai tujuan ini sesungguhnya sekolah yang berhasil, tak peduli agamanya apa.