Guru gagap istilah
Ada perasaan tidak nyaman ketika mendengar percakapan anakku, Bening, sama saudara sepupunya, Alin namanya. Dalam perjalanan dari arah Tegal ke Bandung, keduanya berceloteh ngalor ngidul di dalam bis mengusir penat. Yang membuat ulu hati saya terhenyak adalah obrolannya mengenai hewan cicak.
Adu bicara dua belia kelas 1 SD ini rupanya saling mengonfirmasi tentang kebolehan 'membunuh' hewan cicak, utamanya cicak yang warnanya putih. Pengakuan mereka, pengetahuan itu didapat dari gurunya, mata ajar Agama. Penggunaan kata 'membunuh' menurut ku bukan hanya kurang tepat, tapi juga keliru. Karena, hal itu sudah pada tataran mengajarkan sadisme pada anak.
Daging ayam yang kita makan misalnya, tak akan enak rasa dagingnya kalau kita memakai istilah membunuh ayam lalu memasaknya untuk dimakan. Istilah yang lebih elok adalah menyembelih ayam.
"Berarti guru Bening salah donk, pa?", protesnya. "Guru bukan sumber kebenaran, sayang", jawabku. "Adakalanya guru juga bisa keliru, nak". Kataku kemudian. Saya lanjut bertanya, "kamu dikasih tau alasannya, kenapa kita boleh membunuh cicak?". Balasnya lugas, "enggak".
Saya jelas kecewa bukan karena Bening seorang yang terpapar sadisme, ada banyak anak yang telah menyimpan kata 'membunuh' di dalam otak bawah sadarnya. Guru dalam hal ini, bukan saja tidak membaca konteks sejarah, tapi juga gagap istilah sekaligus miskin diksi yang bermakna lebih humanis.
"Kalo nnyamuk, boleh dibunuh gak, pa?", Anakku masih mencari pembenaran. "Tidak juga, nak..". Balas ku. Lalu dia bertanya, "kalo nyamuk gigit badan Bening, gimana?". "Tepuk saja pelan-pelan, sayang". Jawab ku. Aku ganti kata sadis 'bunuh' dengan kata 'tepuk pelan-pelan'. "Oooh...gitu ya, pa?", Pungkasnya. Aku tegaskan, "iya, nak...betul sekali". Aku cerabut sifat sadis yang sudah terlanjur mengendap dengan dialog yang asyik.
Terakhir, aku nasihati anakku dan saudaranya, "nak, sesama makhluk hidup, kita harus saling menjaga. Hewan, tumbuhan dan kita manusia, harus sama-sama hidup. Kalau ada hewan yang sakit, kita wajib menolong, jika nemuin tumbuhan yang layu, kita sirami".
"Lain kali, bila guru mu mengajarkan untuk melakukan sesuatu, kamu tanya alasannya ya, nak..atau, kakak bisa tanya ke bapak. Nanti kita cari jawabannya sama-sama di taman baca mu, sambil ngopi donk, hehehe...", Lanjut ceramahku panjang lebar. Bening hanya senyum-senyum lucu tanda mengiyakan.
Adu bicara dua belia kelas 1 SD ini rupanya saling mengonfirmasi tentang kebolehan 'membunuh' hewan cicak, utamanya cicak yang warnanya putih. Pengakuan mereka, pengetahuan itu didapat dari gurunya, mata ajar Agama. Penggunaan kata 'membunuh' menurut ku bukan hanya kurang tepat, tapi juga keliru. Karena, hal itu sudah pada tataran mengajarkan sadisme pada anak.
Daging ayam yang kita makan misalnya, tak akan enak rasa dagingnya kalau kita memakai istilah membunuh ayam lalu memasaknya untuk dimakan. Istilah yang lebih elok adalah menyembelih ayam.
"Berarti guru Bening salah donk, pa?", protesnya. "Guru bukan sumber kebenaran, sayang", jawabku. "Adakalanya guru juga bisa keliru, nak". Kataku kemudian. Saya lanjut bertanya, "kamu dikasih tau alasannya, kenapa kita boleh membunuh cicak?". Balasnya lugas, "enggak".
Saya jelas kecewa bukan karena Bening seorang yang terpapar sadisme, ada banyak anak yang telah menyimpan kata 'membunuh' di dalam otak bawah sadarnya. Guru dalam hal ini, bukan saja tidak membaca konteks sejarah, tapi juga gagap istilah sekaligus miskin diksi yang bermakna lebih humanis.
"Kalo nnyamuk, boleh dibunuh gak, pa?", Anakku masih mencari pembenaran. "Tidak juga, nak..". Balas ku. Lalu dia bertanya, "kalo nyamuk gigit badan Bening, gimana?". "Tepuk saja pelan-pelan, sayang". Jawab ku. Aku ganti kata sadis 'bunuh' dengan kata 'tepuk pelan-pelan'. "Oooh...gitu ya, pa?", Pungkasnya. Aku tegaskan, "iya, nak...betul sekali". Aku cerabut sifat sadis yang sudah terlanjur mengendap dengan dialog yang asyik.
Terakhir, aku nasihati anakku dan saudaranya, "nak, sesama makhluk hidup, kita harus saling menjaga. Hewan, tumbuhan dan kita manusia, harus sama-sama hidup. Kalau ada hewan yang sakit, kita wajib menolong, jika nemuin tumbuhan yang layu, kita sirami".
"Lain kali, bila guru mu mengajarkan untuk melakukan sesuatu, kamu tanya alasannya ya, nak..atau, kakak bisa tanya ke bapak. Nanti kita cari jawabannya sama-sama di taman baca mu, sambil ngopi donk, hehehe...", Lanjut ceramahku panjang lebar. Bening hanya senyum-senyum lucu tanda mengiyakan.
0 Comments