Setidaknya ada dua alasan, kenapa sistem zonasi diterapkan dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) oleh pemerintah. Pertama, supaya tidak ada lagi kesan sekolah favorit/unggul dan sekolah non favorit. Kedua, jarak sekolah yang dekat dapat menghemat tenaga, waktu, dan anak murid relatif lebih aman dari tindak kejahatan yang kerap menghantuinya di jalanan.

Upaya ini patut kita apresiasi. Akan tetapi, praktiknya tentu saja tidak selalu mulus. Entah kenapa, para pemangku kebijakan di tingkat daerah selalu saja gagap atau memang sengaja mencari celah agar kebijakannya tidak dianggap melanggar aturan di atasnya.

Bagaimana mungkin, kastanisasi sekolah dihapuskan dari memori masyarakat jika masih melanggengkan aturan menyertakan nilai ujian murni (dulu dikenal NEM) dalam proses PPDB dengan cara mengurutkan nilai dari yang tertinggi sampai terendah.

Pemeringkatan nilai jelas merupakan upaya sekolah memilah siswa yang pandai saja. Siswa yang nilainya rendah dianggap sah tereliminasi jika ada pendaftar belakangan namun nilainya lebih baik. Sekolah yang sudah lama mendapatkan apresiasi "favorit" oleh masyarakat akan tetap memperoleh penghargaan itu dengan sistem rangking tersebut.

Adalah Oktavia, pengunjung rutin warung baca Sahabat Senja ini terbilang pandai. Dia baru saja dinyatakan lulus dari SD dengan nilai yang memuaskan. Dengan nilai yang termasuk kategori tinggi itu, namanya bertengger di urutan sepeluh besar teratas di sekolah yang ia inginkan dan terdekat sesuai alamat KTP ayah dan ibunya.

Sementara itu, kawan chat-nya Oktavia di WA tidaklah sesantai dirinya. Dengan nilai yang tergolong sedang, ia merasa khawatir karena namanya yang bercokol di jajaran bawah bisa saja digusur dan hilang dari daftar online sekolah tersebut oleh pendaftar yang mean nilai USBN-nya lebih baik. Walaupun, KTP ibu dan bapaknya dekat di zona wilayah sekolah itu berada.