Terapkan aturan disiplin, siswa dipermalukan oleh sekolah
Menegakkan aturan sekolah merupakan upaya pembiasaan laku positif bertujuan membentuk siswa yang berkarakter. Termasuk dalam menerapkan sikap disiplin.
Yang perlu diperhatikan, jika tujuan ideal itu ditempuh dengan jalan yang keliru, hasilnya pastilah berlawanan dari harapan semula. Bisa dendam, mungkin juga mental berbohong dan koruptif.
Peristiwa yang tadi pagi saya jumpai adalah contoh sebuah aturan disiplin ditegakkan, tetapi dengan cara membunuh karakter siswa itu sendiri. Seorang siswa SMP swasta di pinggiran kota Tangsel, terpaksa menanggung perlakuan yang dalam pandangan saya keliru.
Lokasinya persis di tepi jalan. Sambil memandangi jalan yang keadaanya padat merayap, siswa itu menyiratkan kegundahan. Rona kesedihan tampak semakin nyata saat jidatnya berkerut, sementara matanya berkaca-kaca.
Pasalnya, ia harus tertahan di depan gerbang sekolah karena terlambat. Sekolah tempat ia seharusnya aman, nyaman dan gembira sekarang angkuh dan menakutkan. Gerbangnya yang cukup tinggi dan kekar mewakili rupa angkuh itu.
Guru-guru di sekolah itu mungkin hanya ikut-ikutan sekolah lain. Atau, bisa pula karena korban tayangan sinetron. Begitu bel tanda masuk berbunyi, gemeratak gerbang melengkapi kebisingan. Bersamaan dengan itu, siswa berhamburan ke luar dan berbaris rapi. Itu acara doa bersama atau pembinaan semua siswa dari kepala sekolah? Entahlah, saya hanya melihat dari jarak yang tidak menjangkau utuh aktivitas yang sedang berlangsung.
Yang jelas, di luar gerbang, ada siswa menampilkan gesture dendam. Yang demikian itu semestinya tidak terjadi. Proses komunikasi yang lebih manusiawi harusnya dikedepankan, bukan dengan menutup rapat pintu gerbang dan membiarkan anak-anak yang terlambat menjadi "tontonan gratis" warga yang melintasi jalan di depan sekolah tersebut.
Ini akibatnya, kebijakan yang didasari oleh prasangka, bukan kajian ilmiah. Hanya bermodal ikut-ikutan atau menyontek sekolah ala sinetron, guru-guru di sana tidak sadar telah membikin anak bermental limbung. Konsep diri yang negatif telah disematkan sekolah kepada siswa malang itu. Sungguh-sungguh ini tindakan bullying. Ironisnya, sekolah pelakunya.
Ini tidak main-main, kejahatan seburuk apapun tidaklah pantas langsung diadili di meja penghakiman. Si penjahat harus melewati proses penyelidikan dan penyidikan. Pada proses itu, tertuduh berhak membela diri. Mempermalukan siswa di pinggir jalan adalah penghakiman yang tidak adil samasekali.
Yang perlu diperhatikan, jika tujuan ideal itu ditempuh dengan jalan yang keliru, hasilnya pastilah berlawanan dari harapan semula. Bisa dendam, mungkin juga mental berbohong dan koruptif.
Peristiwa yang tadi pagi saya jumpai adalah contoh sebuah aturan disiplin ditegakkan, tetapi dengan cara membunuh karakter siswa itu sendiri. Seorang siswa SMP swasta di pinggiran kota Tangsel, terpaksa menanggung perlakuan yang dalam pandangan saya keliru.
Lokasinya persis di tepi jalan. Sambil memandangi jalan yang keadaanya padat merayap, siswa itu menyiratkan kegundahan. Rona kesedihan tampak semakin nyata saat jidatnya berkerut, sementara matanya berkaca-kaca.
Pasalnya, ia harus tertahan di depan gerbang sekolah karena terlambat. Sekolah tempat ia seharusnya aman, nyaman dan gembira sekarang angkuh dan menakutkan. Gerbangnya yang cukup tinggi dan kekar mewakili rupa angkuh itu.
Guru-guru di sekolah itu mungkin hanya ikut-ikutan sekolah lain. Atau, bisa pula karena korban tayangan sinetron. Begitu bel tanda masuk berbunyi, gemeratak gerbang melengkapi kebisingan. Bersamaan dengan itu, siswa berhamburan ke luar dan berbaris rapi. Itu acara doa bersama atau pembinaan semua siswa dari kepala sekolah? Entahlah, saya hanya melihat dari jarak yang tidak menjangkau utuh aktivitas yang sedang berlangsung.
Yang jelas, di luar gerbang, ada siswa menampilkan gesture dendam. Yang demikian itu semestinya tidak terjadi. Proses komunikasi yang lebih manusiawi harusnya dikedepankan, bukan dengan menutup rapat pintu gerbang dan membiarkan anak-anak yang terlambat menjadi "tontonan gratis" warga yang melintasi jalan di depan sekolah tersebut.
Ini akibatnya, kebijakan yang didasari oleh prasangka, bukan kajian ilmiah. Hanya bermodal ikut-ikutan atau menyontek sekolah ala sinetron, guru-guru di sana tidak sadar telah membikin anak bermental limbung. Konsep diri yang negatif telah disematkan sekolah kepada siswa malang itu. Sungguh-sungguh ini tindakan bullying. Ironisnya, sekolah pelakunya.
Ini tidak main-main, kejahatan seburuk apapun tidaklah pantas langsung diadili di meja penghakiman. Si penjahat harus melewati proses penyelidikan dan penyidikan. Pada proses itu, tertuduh berhak membela diri. Mempermalukan siswa di pinggir jalan adalah penghakiman yang tidak adil samasekali.
0 Comments