Tidak banyak orang membicarakan perihal bagaimana bayi itu berpikir. Tangisannya, rengekannya, kelucuan dan ketawanya kerap berlalu biasa saja tanpa pernah kita mencoba mengamatinya lebih dalam. Seringnya juga, orangtua menganggap bayi sekadar objek yang menghibur untuk melenyapkan letih dan kusutnya pikiran setelah seharian dihantam kesibukan.

Padahal, di balik fenomena kelucuan dan tangisan sang bayi, peristiwa yang kompleks dan rumit tengah berlangsung di kepalanya. Bak seorang programmer, otak bayi sedang berproses menyusun dan mendesain programnya sendiri. Kode-kode untuk merespon masukan data ditata sedemikian rupa hingga bayi mampu memberi makna khas pada objek yang khas pula.

Proses itu berlangsung padu dan sembunyi di balik kepolosan. Anak-anak belia, bahkan, mampu mengingat dengan sangat baik kejadian yang lampau sebagai dasar untuk memprediksi masa yang akan datang.

Buku karya tiga ahli psikologi perkembangan; Alison Gopnik, Andrew N. Meltzoff dan Patricia K. Kuhl yang berjudul "Keajaiban Otak Anak : rahasia cara anak balita mempelajari benda, bahasa, dan manusia" ini mengupas secara detail bagaimana otak bayi bertumbuh serta memahami dunia.

Buku yang merupakan paparan hasil penelitian ini, membuka mata hati siapa saja bagi yang mau membacanya. Pasalnya, isinya menyadarkan sudut pandang kita dalam melihat kembali persepsi terkait pola pengasuhan anak.

Disebutkan tadi, bahwa seorang balita mampu memprediksi dengan sangat baik apa yang akan terjadi melingkupi waktu yang akan ia lewati. Landasannya tentu data masukan yang sudah ia atur didalam prosesor biologis di kepalanya. Apa yang dilakukan orangtuanya, direkam sempurna, lalu dikoding menjadi pola-pola. Jika prediksinya keliru, anak akan menata ulang kode-kode untuk memprogram aplikasi baru. Keberanian anak berbohong adalah hasil dari keseringannya mendapat input data yang tidak konsisten dari orang dewasa.

Contoh sederhana, orangtua yang suka mengobral kata 'jangan'. Saat tertentu anak dilarang melakukan sesuatu, di waktu yang lain orang dewasa melakukan apa yang tidak boleh anak belia lakukan. Kita sangat melarang anak berlama-lama dengan gadgetnya, sementara orangtua asyik memainkan hp miliknya di depan sang buah hati. Perilaku ambigu ini yang mengacaukan anak merajut pola yang konsisten. Hasilnya, anak mempraktikkan tindakan berbohong.

Usia krusial

Usia 0-6 tahun menjadi penanda masa paling krusial dalam kehidupan manusia. Pada usia inilah, otak mampu menunjukkan performa terbaiknya. Di periode awal kelahiran, otak bayi masih menangani kerja-kerja sederhana; mengatur pernapasan, menyelaraskan detak jantung dan aktivitas lain yang diatur oleh otot tak sadar. Seiring waktu bergulir, otak anak balita, bahkan, mampu mempelajari lebih banyak dari apa yang bisa dipelajari oleh ilmuwan selevel doktor.

Kemampuannya memaknai bahasa, objek, mimik wajah, dan gestur tubuh orang dewasa adalah kecanggihan yang tidak ada tandingannya. Daya yang luar biasa ini melampaui kedigdayaan komputer paling mutakhir sekalipun.

Di buku yang kita kaji ini juga bisa kita jumpai gagasan bahwa, rupanya, kerja ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuwan selaras dengan cara bayi berpikir. Dorongan emosi atas keingintahuannya yang sangat besar mengilhami balita bereksperimen, melakukan apa saja dan meraih apapun untuk menguji kebenaran yang anak yakini, lalu menyimpulkannya, sehingga respon yang diberikan terhadap perlakuan pada dirinya sesuai.

Rasa ingin tahu sang bayi yang besar ini menjadi dorongan otomatis. Collin Rose, seorang pakar Accelerated Learning menyebutnya sebagai The Insting of Learning. Naluri yang dimiliki sudah demikian, mencoba dan mencoba tanpa mengenal lelah. Lain halnya dengan orangtua kebanyakan, mereka malah menyebutnya susah diatur, hiperaktif, cerewet, dan sejumlah label negatif lainnya yang justru membuat orangtua stres sendiri.

Penghambat kreativitas

Sayangnya, naluri belajar anak balita mengalami grafik penurunan yang cukup tajam sejak mereka memasuki usia 7 tahun. Hal ini bukan lantaran mereka lelah menjalani masa penuh dengan daya eksplorasi yang tinggi, tetapi, kecepatan anak dalam merespon input informasi dari luar seolah di rem mendadak tepat di depan pintu gerbang sistem persekolahan kita.

Laiknya lari estafet, sekolah melanjutkan kebiasaan pola pengasuhan yang buruk di rumah. Pembatasan-pembatasan objek yang dipelajari siswa mulai dirasakan jemu oleh si kecil. Tugas-tugas sekolah yang hakikatnya membunuh kreativitas menumpuk. Anak kemudian asing terhadap segala bentuk yang berkaitan dengan belajar. Ia dicerabut dari aktivitas bermain yang merupakan belajar sesungguhnya menurut mereka.

Menurut penelitian yang di dikutip oleh ayah Edy, bahwa penurunan insting belajar yang dialami anak-anak disebabkan oleh sedikitnya tiga hal. Pertama, orangtua dan guru yang acapkali mengumbar larangan pada hal yang sebenarnya bisa memenuhi rasa ingin tahunya.

Kedua, orangtua dan guru yang kerap merendahkan harga diri anak dengan menertawakan, melecehkan anak yang sedang berupaya mempelajari sesuatu. Label negatif yang disandangkan pada anak  berakibat pada anggapan anak bahwa dirinya memang bodoh, ceroboh, tidak mampu dlsb. Konsep diri yang negatif melahirkan sikap malas. Belajar benar-benar jadi racun yang mematikan kreativitas, bukan lagi menyenangkan dan menumbuhkan pelbagai potensi yang dimiliki anak.

Ketiga, sistem persekolahan yang sedari awal memang membatasi belajar anak pada kewajiban untuk memenuhi tuntutan administrasi kurikulum. Belajar tidak lagi sesuai dengan apa yang menjadi minat anak.

Dari ketiga hal tersebut, ironisnya adalah pada poin yang disebut terakhir. Ternyata, sistem sekolah lah yang paling dahsyat membenamkan kemampuan alami belajar anak.