Menyikapi "siswa bandel"
Seorang sahabat bertanya via WA group ke saya, " minta masukan donk.. andai ada murid yg sikapnya terkesan gak sopan ke guru, misal kita ngomong dicuekin, kita suruh maju ke depan ngerjakan soal dia gak mau, nada bicaranya tinggi, kira2 Cara terbaik mendidiknya bgmn ya? Teknisnya ya...."
Tidak ada cara praktis yang secara teknis cespleng dan langsung manjur untuk mengatasi satu kasus yang disebut "anak bandel". Kata kawan saya, membaca anak adalah membaca manusia dengan segala misterinya. Satu treatment ampuh untuk memotivasi satu anak, treatment yang sama belum tentu sakti buat anak lainnya.
Memulai dari membaca diri barangkali bisa menjadi awal yang bijak. Sebagai individu, tentu kita berhak memiliki harapan ingin dipandang, diperlakukan, dan dipahami seturut dengan selera kita. Acapkali, harapan itu tak sejalan dengan kenyataan. Dari situlah kita mengerti bahwa dalam masa yang bersamaan kita juga bagian dari sebuah komunitas masyarakat atau dengan kata lain kita merupakan makhluk sosial. Pemahaman ini, bagi kita yang dewasa, telah mampu disenyawakan dalam tindakan dan laku kita dalam keseharian.
Hal yang sama dirasakan oleh siswa. Ia ingin diperlakukan sesuai yang dimaui. Anak sejatinya tahu bahwa di samping sebagai individu dirinya merangkap pula sebagai makhluk sosial. Namun, tahu itu sekadar tahu, pemahamannya itu belum menyatu dengan perilaku rutinnya.
Di sisi yang lain, anak remaja, punya pakem ideal dalam memahami lingkungan di sekitarnya. Jika ada reaksi dari luar yang tidak sesuai dengan idealismenya, memberontak adalah jalan yang ditempuh.
Maka, yang perlu dilakukan selanjutnya, ada baiknya menjalin komunikasi intens dengan anak-anak dengan tulus dan tidak membeda-bedakan. Yakinlah bahwa semua anak pandai, semua murid sopan, dan semua siswa unik serta mengagumkan. Jika ada ketidaksesuaian harapan kita dengan sikap yang ditampilkan oleh siswa, itu semata karena ada yang tidak seirama, apa yang anak anggap ideal dengan lingkungan di luar dirinya.
Ancaman atau hukuman yang diberikan secara spontan baik dengan bahasa verbal maupun gestur kita yang memberi pesan tidak suka pada siswa tersebut seringkali hanya memunculkan konflik baru yang lebih rumit dan merugikan kedua pihak, siswa dan guru. Termasuk jika anak "dicuekin dan tidak diabsen". Hal itu bisa diartikan kita menihilkan keberadaan siswa tersebut di kelas, bukankah pada tingkat tertentu itu juga bisa dianggap bully?
Entahlah, saya sendiri bukan ahli psikologi kepribadian. Tapi, saya percaya bernegosiasi dengan siswa melalui komunikasi yang lebih humanis memberi kemudahan jalan untuk menemukan solusi yang memenangkan kedua pihak. Semoga....
Tidak ada cara praktis yang secara teknis cespleng dan langsung manjur untuk mengatasi satu kasus yang disebut "anak bandel". Kata kawan saya, membaca anak adalah membaca manusia dengan segala misterinya. Satu treatment ampuh untuk memotivasi satu anak, treatment yang sama belum tentu sakti buat anak lainnya.
Memulai dari membaca diri barangkali bisa menjadi awal yang bijak. Sebagai individu, tentu kita berhak memiliki harapan ingin dipandang, diperlakukan, dan dipahami seturut dengan selera kita. Acapkali, harapan itu tak sejalan dengan kenyataan. Dari situlah kita mengerti bahwa dalam masa yang bersamaan kita juga bagian dari sebuah komunitas masyarakat atau dengan kata lain kita merupakan makhluk sosial. Pemahaman ini, bagi kita yang dewasa, telah mampu disenyawakan dalam tindakan dan laku kita dalam keseharian.
Hal yang sama dirasakan oleh siswa. Ia ingin diperlakukan sesuai yang dimaui. Anak sejatinya tahu bahwa di samping sebagai individu dirinya merangkap pula sebagai makhluk sosial. Namun, tahu itu sekadar tahu, pemahamannya itu belum menyatu dengan perilaku rutinnya.
Di sisi yang lain, anak remaja, punya pakem ideal dalam memahami lingkungan di sekitarnya. Jika ada reaksi dari luar yang tidak sesuai dengan idealismenya, memberontak adalah jalan yang ditempuh.
Maka, yang perlu dilakukan selanjutnya, ada baiknya menjalin komunikasi intens dengan anak-anak dengan tulus dan tidak membeda-bedakan. Yakinlah bahwa semua anak pandai, semua murid sopan, dan semua siswa unik serta mengagumkan. Jika ada ketidaksesuaian harapan kita dengan sikap yang ditampilkan oleh siswa, itu semata karena ada yang tidak seirama, apa yang anak anggap ideal dengan lingkungan di luar dirinya.
Ancaman atau hukuman yang diberikan secara spontan baik dengan bahasa verbal maupun gestur kita yang memberi pesan tidak suka pada siswa tersebut seringkali hanya memunculkan konflik baru yang lebih rumit dan merugikan kedua pihak, siswa dan guru. Termasuk jika anak "dicuekin dan tidak diabsen". Hal itu bisa diartikan kita menihilkan keberadaan siswa tersebut di kelas, bukankah pada tingkat tertentu itu juga bisa dianggap bully?
Entahlah, saya sendiri bukan ahli psikologi kepribadian. Tapi, saya percaya bernegosiasi dengan siswa melalui komunikasi yang lebih humanis memberi kemudahan jalan untuk menemukan solusi yang memenangkan kedua pihak. Semoga....
0 Comments