Oleh : Dhofier Lee

Pernahkah anda mengalami, waktu sekolah dulu, terlambat datang kemudian disuruh pulang. Atau, gegara datang tidak tepat waktu, dihukum membersihkan kamar mandi atau menyapu lantai di depan kelas?

Saya tentu pernah mencicipi pengalaman itu. Cerita masa sekolah yang tak lekang walau telah ditimbun waktu. Saya pikir itu kisah masa silam yang tidak mungkin dirasakan oleh anak sekolah jaman now.

Rupanya tidak. Anak sekolah jaman now masih pula ada yang menanggung hukuman itu. Supaya tak terkesan bully, gurunya mengganti dengan istilah konsekuensi, bukan lagi hu-ku- man. Ceritanya, hukuman itu terlalu kasar, sedangkan konsekuensi itu ada unsur memotivasi. Ah…Lagi, saya harus berjumpa dengan kekonyolan yang menggemaskan dan tidak lucu seperti ini.

Menurut saya tidak perlu lagi ada hukuman atau konsekuensi yang berujung pada kerugian dipihak siswa. Apa susahnya, kita (guru), menjeda kesibukan kita barang sejenak, untuk mau berbicara dari hati ke hati dengan murid. Jika kita mau bertanya dan mendengar, bukankah masalah bisa diselesaikan dengan lebih jernih?

Bukankah tidak ada satu pun cerita yang mengisahkan keberhasian seseorang yang didorong oleh bahasa motivasi yang negatif?

Malu adalah rasa yang pertama muncul dan menjalar dari ulu hati dan menyebar hingga rona muka memerah karena marah. Setidaknya, itu suasana hati yang mencokok saya waktu itu. Terlambat datang ke sekolah dan dihukum. Setelah peristiwa itu, urat malu saya jadi kebal. Keterlambatan berikutnya menjadi hal yang lumrah, kerapkali saya menikmatinya.

Di masa yang sudah jauh saya lewati itu saya samasekali tidak belajar bagaimana menghargai waktu. Tepat waktu atau tidak, sama saja. Tidak ada yang istimewa. Saya kira, anak jaman now yang sempat menjalani hukuman disuruh pulang, membersihkan kamar mandi atau menyapu halaman depan kelas karena telat, atau harus termangu di depan gerbang sekolah, akibatnya bisa lebih fatal. Jaman di mana anak-anak sekarang sudah mengurangi waktu untuk bersosialisasi lantaran mereka lebih suka berlama-lama dengan gadget, hukuman semacam itu bisa jadi pukulan yang super berat.

Akibatnya, bukan saja tidak bisa menghargai waktu. Rasa hormat terhadap guru pun bisa hilang. Lalu ketika dampak itu benar-benar terjadi, anak murid tidak mau mendengar gurunya, kemudian si guru dengan pongahnya membuat hukuman jenis baru. Alhasil, sekolah menjadi tempat di mana siswa datang lantaran keterpaksaan. Ia datang bukan karena ia ingin belajar apalagi ingin berbagi pengetahuan dengan gurunya, melainkan rumah sudah menjadi tempat angker pertama sebelum sekolah. Di rumah, orangtua tidak bisa diandalkan menjadi sandaran anak untuk berbagi cerita.

Kalau sudah begini, hasrat belajar sungguh-sungguh telah mati.