Kata Mbah Pram, "Adillah sejak mulai mikir".

Menggunakan ilmu pengetahuan untuk memperdaya khalayak awam bukan saja keculasan, tindakan itu juga mengotori tujuan-tujuan mulia dalam tatanan sosial. Kemampuan meracik argumen dalam rangka mengaduk emosi orang lain lalu menggiringnya pada posisi perasaan tidak suka, bahkan membenci individu atau kelompok lain adalah tidak adil.

Meyakini kebenaran tertentu adalah hak setiap pribadi, juga keniscayaan. Tanpa memegang prinsip-prinsip kebenaran mana bisa orang bertahan hidup. Tentu saja, kebenaran yang bersifat pribadi. Berharap orang lain mengikuti kebenaran yang kita anut juga sah saja. Yang aneh adalah bernafsu agar orang lain juga bertekuk pikir di hadapan kebenaran kita.

Bukankah keindahan itu tumbuh dari keyakinan kebenaran yang saling melengkapi, perbedaan yang saling berdiri sejajar, tanpa hasrat mengungguli satu sama lain?

Ya, yang anggun dalam perbedaan adalah kemauan untuk saling menghargai, kemauan saling mendengar, dan kesanggupan mental untuk saling belajar.

Sayang, kita ini sudah kepalang terbelah, hanya karena berbeda pilihan. Agama bahkan, bukan lagi sumber moral yang menyatukan. Potongan-potongan risalahnya  diramu demi pembenaran pilihan. Kebenaran menjadi barang murahan, sepadan dengan harga kuota internet, malah lebih murah lagi. Senilai dengan entengnya kita membagi informasi palsu atau opini recehan.

Ada baiknya kita merenungi kalimat ini : "Tujuan tertinggi dari individu-individu mestinya saling melayani sesama ketimbang saling mengatur terlebih memaksa orang ke jalan lain", (Enstein).