Saya tidak bisa menyembunyikan rasa haru sekaligus salut dengan kawan saya yang menjadi guru SD di salah satu sekolah swasta yang ada di pinggiran Jakarta. Sekolah tempat ia mengajar bukanlah sekolah swasta yang berlabel mahal. Bahkan, tergolong matisuri. Berpuluh tahun sekolah ini harus "numpang" pas musim ujian nasional (USBN). Sebabnya sekolah belum terakreditasi, jumlah siswa juga tidak beranjak banyak, selalu kurang dari sepuluh.

Kali ini, sekolah tempat kawan saya mengabdi ini mulai bergeliat. Kegiatan siswa yang variatif, semangat guru-guru yang masih setia dan mau belajar, katanya juga, sang kepala sekolah yang seorang aktivis sosial, menjadi daya tarik masyarakat untuk kembali melirik sekolah yang tadinya mau tutup ini. Sekarang siswa barunya sudah lebih dari sepuluh anak.
Berkat itu pula, sekolah tersebut beberapa waktu yang lalu, disarankan oleh pengawas dari dinas pendidikan untuk mengikuti ujian Akreditasi. Berbekal pengalaman manajerial yang jauh dari sempurna, juga sistem administrasi yang samasekali belum teruji, kepala sekolah dan guru-guru menyatakan siap untuk diuji akreditasi.

Sayang, kenyataan birokrasi pendidikan yang masih terjangkit penyakit lama haruslah disaksikan sendiri oleh kawan saya tadi. Sang pengawas sekolah memberikan wejangan begini kira-kira, "nanti, uang transportasi untuk asesor minimal dua juta ya!". Kawanku yang masih muda ini cuma melongo, dalam hatinya ia bergumam, "loh...saya kira model beginian sudah punah, ternyata masih ada toh, kalo seorang asesor minimal dua juta, berarti sekolah harus menyiapkan empat juta donk, karena ada dua orang asesor".

Dengan keteguhan hatinya, kawan saya ini meyakinkan guru yang lain bahwa ini praktik yang salah. Dan, sekolah benar-benar mengabaikan wejangan pengawas sekolah. Hari-H akreditasi berjalan tanpa sepeser pun uang yang bersarang di kantong asesor. Tahu apa reaksi pengawas? Mengetahui bahwa sekolah tidak memberikan uang transportasi kepada asesor, pengawas marah, bahkan, si pengawas meyakinkan bahwa nama baiknya bisa hancur gegara itu.

Kawan saya ini mencoba mengintip sekolah lain, bertanya apakah sekolahnya memberikan uang transportasi seperti yang disarankan oleh pengawas. Dugaannya tak meleset. Sekolah lain menghadiahi amplop lumayan tebal untuk asesor.

Karena sekolah ini telah berpengalaman berjalan apa adanya, kawan saya dan rekan-rekannya pun tak takut kalau nanti nilai akreditasinya B atau bahkan C. Kalaulah tak bisa menyelenggarakan USBN secara mandiri, toh selama ini memang demikian. Peminat sekolah? Ia serahkan sepenuhnya kepada masyarakat.

Hayoooo sekolah mana yang bisa seberani ini selain sekolah kawanku mengabdi? Pasti saya akan salut juga.