Guru yang suka memberikan Pekerjaan Rumah (PR) dalam bentuk soal-soal, barangkali harus lebih bijak dan hati-hati. Soal-soal yang ditugaskan untuk diselesaikan di rumah secara laten adalah perundungan. Alih-alih memotivasi siswa untuk belajar mandiri, soal-soal itu justru berfungsi sebaliknya, pembebanan akademik. Seiring berjalannya waktu, penugasan semacam itu juga sedang membudayakan proses yang instan. Ketika mendapat soal (PR), siswa lebih sering memakai jasa guru les atau siapa saja yang menurut mereka bisa menyelesaikan soal-soalnya. Yang penting tugasnya selesai "titik". Pada umumnya, para siswa enggan mengulang dan belajar kembali untuk menguatkan materi yang telah dipelajari.

Tugas (PR) dalam bentuk soal mengindikasikan setidaknya dua hal. Pertama, pembelajaran di kelas tidak tuntas. Kedua, belajar dimaknai secara sempit. Soal-soal yang ditugaskan di rumah, sekali lagi, pada taraf tertentu justru tidak akan memampukan siswa jadi lebih mandiri. PR ada baiknya berupa tugas yang menarik sekaligus menantang. Contoh : mintalah murid untuk membuat diari, misalkan dalam dua atau tiga hari mencatat dan menguraikan kegiatan yang menarik atau tidak menarik. Lalu, berikan tugas pada siswa, menganalisis mana yang merupakan paragraf deskripsi atau narasi. Tugasilah anak didik kita dengan tugas yang bersifat menggali potensi dan informasi yang asalnya dari mereka.

Kabupaten Purwakarta era Dedi Mulyadi, sebenarnya telah lebih dulu melakukan terobosan positif. Tahun 2016, Ia bahkan berani mengeluarkan edaran yang berisi di antaranya guru dilarang memberikan PR "konvensional". Dalam surat edarannya, Dedi menyatakan bahwa PR boleh diberikan apabila bentuknya adalah karya-karya yang mampu menjadikan siswa lebih produktif dan kreatif, menumbuhkan bakat, minat dan potensi siswa yang lain agar lebih berdaya.

PR adalah kerja kreatif yang bernilai, seperti : membuat karya tulis ilmiah; mengarang cerita pendek, membuat kerajinan tangan, melakukan kegiatan bercocok tanam dan latihan berternak. Guru lantas melakukan pengawasan dan bimbingan terkait pekerjaan rumah tersebut.   Dengan demikian guru dapat melaksanakan penilaian kinerja siswa secara otentik.

Persoalan PR ini juga pernah mendapatkan perhatian dan diskusi serius di Amerika Serikat. Tahun 1960-an, setelah Rusia meluncurkan satelit Sputnik, publik Amerika tercengang. Mereka menganggap sekolah ikut bertanggung jawab atas persaingan ilmu pengetahuan di pentas global ini. Publik Amerika lalu mendorong agar sekolah berbenah, siswa-siswa terus diberikan treatment supaya lebih kompetitif, termasuk di dalamnya adalah pembebanan tugas PR.

Abad berganti, kajian-kajian pendidikan terus bergulir. Hasilnya, masyarakat di Amerika berbalik pada pemahaman baru. Beban siswa akibat pemberian PR dirasa berlebihan dan menuntut kelonggaran akademik. PR juga dianggap penyebab kelelahan fisik dan emosional, menghambat motivasi belajar dan mengurangi waktu istirahat siswa.

Sejak dikeluarkannya standar pemberian PR oleh National Education Association, yaitu : 10 menit dikalikan dengan tingkat kelas, contoh :  anak kelas 5 memiliki standar waktu pengerjaan PR selama 50 menit (5 dikali dengan 10), kelas 8 menggunakan standar mengerjakan PR selama 80 menit, digunakan secara luas di Amerika dan juga diikuti oleh negara-negara lain. Di Indonesia, guru sangat leluasa menugasi PR kepada anak didiknya. Penugasan PR acapkali tanpa menimbang apa dampaknya.

Ada pula guru yang mengatakan bahwa kalau PR ditujukan untuk persiapan menghadapi ujian itu wajar, tidak perlu dipersoalkan. Saya terang, tidak setuju dengan pendapat ini. Tugas sekolah haruslah mendorong anak murid menjadi lebih kreatif. Semestinya mereka dipersiapkan untuk mampu menghadapi arus kehidupan yang berderap kencang membawa perubahan. Bukan drilling soal untuk mengatasi ujian yang tidak ada hubungannya dengan masa depan.