Ditunjuknya mantan bos GoJek menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan merupakan langkah anti mainstream presiden Jokowi yang mengundang decak kagum sekaligus kontroversial. Jabatan yang lumrah diemban oleh guru besar perguruan tinggi, kali ini disandang oleh mantan CEO perusahaan yang berbasis teknologi informasi.

Jokowi seperti ingin mengulang kesuksesan di periode pertama. Kita ingat, salah satu fokus utama Jokowi di masa sebelumnya adalah Indonesia menjadi poros maritim dunia. Ketika itu, Jokowi mengatakan, "sudah terlalu lama kita memunggungi laut, maka kita akan mengembalikan kedaulatan ekonomi yang berbasis kemaritiman".

Dipanggil lah Susi Pudjiastuti sebagai menteri kelautan dan perikanan. Kala itu, sejumlah pandangan miring soal kesungguhan Jokowi membenahi hasil kelautan tak terhindarkan. Susi yang telah lama bergelut di dunia kelautan dan perikanan dan dikenal sebagai "putri laut" oleh nelayan di daerah kelahirannya, hanyalah seorang lulusan SMP.

Pandangan pesimis dari sejumlah kalangan ditepis dengan hasil kerja nyata. Tak kurang dari 500 kapal pencuri ikan yang berbendera asing telah ditenggelamkan dalam masa periode tugasnya. Susi menjadi simbol kebangkitan kedaulatan laut dan dielu-elukan oleh masyarakat. Sejumlah penghargaan Internasional juga diraihnya.

Berkaca dari itu, didapuknya Nadiem Makarim sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan adalah harapan agar beliau sesukses Ibu Susi Pudjiastuti. Setumpuk pekerjaan ada di pundak menteri termuda di Kabinet Indonesia Maju.

Meski mengagetkan sejumlah kalangan, langkah Jokowi tidaklah main-main. Pengalaman di periode pertama adalah pelajaran berharga. Kata kunci yang dipegang masih konsisten. Misalnya, Jokowi kerap berujar kita perlu menggunakan cara-cara baru agar bangsa Indonesia mampu melesat cepat melangkahi ketertinggalan. Cara baru yang ditempuh, di antaranya adalah mengangkat menteri pendidikan dan kebudayaan yang bukan dari pakar berlatar belakang pendidikan atau guru besar.

Pertanyaan yang masih menggelayut adalah, kenapa harus Nadiem. Jawabannya boleh ditafsir masing-masing orang sesuai sudut penilaiannya. Saya termasuk yang optimis. Penunjukkan Nadiem bagi saya, pertama, Jokowi ingin mengatakan bahwa output pendidikan haruslah SDM seperti Nadiem, orang yang berani berinovasi. Dengan inovasinya itu, melalui Go-Jek mampu memberikan kontribusi 55 triliun bagi perekonomian Indonesia. Tentu bukan soal nilai kontribusi ekonominya semata, SDM yang inovatif itulah dimaui oleh Jokowi.

Kedua, telah berpuluh tahun kementerian yang bertanggungjawab membangun generasi muda itu dinahkodai oleh pakar di bidang pendidikan. Sayangnya, perbaikan itu berjalan lambat jika tak boleh dibilang jalan di tempat. Dalam kurun 15 tahun, siswa kita konsisten berkemampuan rendah pada matematika, sains dan membaca dasar menurut PISA. Hal ini merupakan kenyataan bahwa upaya perbaikan belum cukup bisa menyentuh akar persoalan. Langkah Jokowi bukanlah perjudian. Jika di tangan mereka yang berlatar belakang akademis persoalan pendidikan tak kunjung rampung, Nadiem adalah langkah penyegaran sekaligus harapan baru.

Selama ini, semua orang merasa telah melakukan yang terbaik untuk pendidikan kita. Ibarat sebuah keluarga yang merencanakan liburan, semua anggota keluarga telah turut serta berpartisipasi menyiapkan segalanya untuk perbekalan. Semua standar keselamatan, bekal pakaian dan makanan telah lengkap. Perjalanan pun siap dimulai. Setelah semua naik kendaraan yang telah disediakan, ternyata mesin kendaraan itu bermasalah. Perjalanan pun tak sesuai harapan bahkan bisa gagal.

Ilustrasi itu menggambarkan kondisi pendidikan kita. Segala perangkat telah disiapkan sedemikian rupa, mulai dari anggaran, perbaikan kurikulum dan peningkatan mutu guru, bahkan tujuan yang ideal. Tapi, perbekalan itu tak bisa cepat landas lantaran luputnya engineering yang tahu mesin kendaraan untuk pemberangkatan. Sementara mesin kendaraan kita telah aus sejak awal.

Disrupsi

Meluasnya penggunaan media sosial mengubah lanskap relasi antar manusia. Dengan memanfaatkan data pada jejaring virtual, peluang bisnis online sangat menjanjikan. Disrupsi di berbagai bidang tak terelakkan. Kini tak hanya melibas jenis pekerjaan yang bersifat teknis, di mana tenaga manusia bisa dipinggirkan. Disrupsi juga mampu merenggut profesi yang telah lama mapan secara struktural milik para pakar di bidang tertentu. Nadiem contohnya.

Hadirnya Nadiem membuktikan gejala disrupsi bisa menindas pakem lama yang struktural di dunia pendidikan. Nadiem diharapkan menjadi mesin lokomotif baru yang akan membawa gerbong berisi potensi-potensi unggul anak-anak Indonesia menuju kemajuan dan berkebudayaan.

Pragmatis versus idealis

Dengan kaca pandang pragmatis, Nadiem adalah harapan. Saya setuju dengan apa yang disampaikan oleh Nadiem di pidato awalnya. Di seratus hari pertama kerjanya, dia akan banyak mendengar. Meski sangat moncer dalam dunia teknologi informasi, Nadiem tak perlu bernafsu apa yang ada di imajinasinya ditawarkan membabi buta sebagai solusi atas segala persoalan.

Nadiem masih perlu memetakan persoalan serius yang menghambat kemajuan pendidikan kita. Lemahnya pendidikan di Indonesia adalah hilangnya akar filosofi pendidikan itu sendiri. Juga, pengajaran guru yang terpenjara oleh pakem lama, interaksi guru-murid yang abai menumbuhkan sifat kritis, imajinatif dan menyenangkan. Belum lagi administrasi guru dan dosen yang cenderung membunuh kreativitas.

Di sisi idealis itu, Nadiem masih timpang. Maka, Nadiem tidak boleh berjarak dengan para ilmuwan yang sudah hatam seluk beluk pendidikan. Tugasnya saya kira disesuaikan dengan keahliannya, yaitu bidang teknologi informasi. Nadiem perlu menyediakan sistem yang terpaut dengan teknologi yang mampu memangkas betapa njelimetnya ngurus sertifikasi misalnya. Atau bagaimana reportnya memenuhi administrasi akreditasi dan sejumlah persoalan lain yang tak berguna. Jenjang usia Nadiem yang dekat dengan generasi siswa dan mahasiswa bisa memudahkan sang menteri termuda ini menyelidik antara kebutuhan siswa/mahasiswa dengan harapan guru/dosen. Sehingga jembatan komunikasi kedua elemen itu gampang digarap.

Jangan lupa, memodernisasi pendidikan ala GoJek bisa menjerumuskan pada korporatisasi pendidikan. Apalagi, gejala itu telah lama menjangkiti. Komersialisasi sekolah dan kampus bukanlah rahasia lagi.

Akhirnya, memadukan sisi pragmatis dan idealis itu adalah tugas semua steakholder. Kita tak seyogyanya mengadili Nadiem untuk mundur sebelum bekerja. Terlebih meragukan kemampuannya dengan justifikasi agama keluarganya. Menurut saya itu telah keluar dari nalar yang sehat.

Oleh : M. Dhofier
Pemerhati Pendidikan