Suatu kali saya berdiskusi dengan seorang sahabat, Ilhamul Qolbi namanya. Kami berprofesi sama, guru. Dia berkeras pikir bahwa peran guru tidaklah mungkin bisa digantikan teknologi. Menurutnya, ada sentuhan tertentu yang tak dimampui oleh teknologi. Dia tidak secara jelas memaknai sentuhan tertentu yang dimaksud.

Sementara saya sebaliknya, bagi saya, peran guru sebagian besar justru telah diambil alih oleh teknologi. Sebenarnya saya sendiri ingin membantah sekuat-kuatnya keyakinan saya itu. Sayangnya, setelah memeriksa hingga rinci, bekal saya sebagai guru telah sepenuhnya bisa dikerjakan, bahkan lebih sempurna oleh teknologi.

Saya tak ingin teknologi menguasai manusia. Kala teknologi mengunci sistem utama manusia, nalar dan emosi, terbayang oleh saya betapa manusia tak ubahnya benda. Telanjang tanpa kemanusiaan itu sendiri. Di sanalah barangkali saya, yang guru ini, berperan. Meneguhkan kemanusiaan.

Lagi-lagi kenyataannya, langkah teknologi lebar-lebar, tak mudah kita mengikutinya dari belakang. Hanya untuk bersikap adaptif saja kita terseok-seok. 

Generasi di mana ketiban langkah terakhir teknologi, merekalah yang menuai kelimpahan kemudahan. Di sana lah, konsep kemanusiaan pun jauh dari acuan lama.

Saya kembali berpikir, akankah saya mengajarkan pemahaman lama untuk menghadapi jaman yang setiap saat muncul kebaruan.

Mungkin itu pula yang terpikir oleh sahabat saya. Makanya, begitu susah membunyikan gagasannya soal "sentuhan tertentu" yang ia maksudkan. Barangkali sama dengan saya, hingga di pelosok pemikirannya yang dalam, bekal yang ia andalkan untuk jadi guru tersedia lebih variatif di internet. Teknologi menggenggam semuanya.

Sahabat saya rupanya tak puas, ia masih tak sanggup menerima gagasan bahwa guru bisa diganti oleh teknologi. Ia mengatakan pendidikan bukan hanya soal pengetahuan, tapi juga menumbuhkan karakter anak. Bagaimana mungkin menanamkan karakter tanpa guru.

Lalu saya ajukan pertanyaan, apa yang paling kuat memberikan pengaruh positif terhadap dirinya dan kehidupannya. Saya tahu, sahabat saya ini merupakan guru yang berdedikasi tinggi, kemauannya terus belajar tak perlu diragukan. Dia juga pandai menulis artikel-artikel yang bagus. Maka, pertanyaan di atas perlu kiranya saya ajukan.

Jawabannya telah saya duga, dari membaca buku-buku ia menjadi dirinya yang sekarang. Saya mengatakan padanya bahwa, integritas mu, kejujuran mu, moderasi mu, keindonesiaan mu, dan lain-lain, bukankah itu diajarkan oleh Cak Nur, Cak Nun, Gus Dur, Pramoedya, Soekarno, Hatta, dan lain-lain. Dan lain-lain. Dalam buku-buku para tokoh terhormat itu. Sahabat saya tegas mengiyakan.

Dari buku lah kita belajar. Dan dari internet lah anak kita sekarang belajar. Jika buku mampu membentuk karakter, demikian juga informasi yang berlimpah di internet. Sahabat saya lalu menukas, maka diperlukan guru agar anak-anak tahu informasi mana yang berguna, seperti guru-guru saya yang memberitahu buku-buku mana yang berwibawa.

Di situ lah poinnya. Guru yang tahu maka akan memberitahu. Guru yang membaca maka akan mengajak muridnya membaca. Guru yang belajar maka akan memberi teladan bagi siswanya untuk belajar. Guru yang rendah hati maka akan menjadikan muridnya berbudi. Guru yang merdeka maka akan menginspirasi muridnya.

Guru macam itu lah yang mampu memegang teknologi sebagai alat. Lalu mengajarkan pada muridnya agar menguasai teknologi, bukan dikuasainya. Agar manusia tetap dengan nilai-nilai kemanusiaannya, bukan melucutinya.

Sayangnya, bahkan di tahun 2018 BKN merilis ASN dosen, pegawai pemerintah pusat, daerah, disusul guru adalah penyebar hoaks terbanyak. Apakah mereka bukan pembaca, pastinya membaca. Tapi menyebar hoaks adalah perbuatan jahat yang samasekali jauh dari tipe pembaca yang kritis.

Mental guru yang ringan mengetukkan jempolnya untuk menyebar hoaks, membaca tapi tak memberi teladan, atau sebenarnya malas membaca? Entahlah. 

Data dari Kemendikbud tahun 2018, bahwa hanya 6,06 persen siswa sekolah dasar yang mampu membaca dengan baik mungkin dampak turunannya.

Sebuah potret pembelajaran dari salah seorang sahabat saya yang lain, mengungkap cerita yang lain lagi. Ia adalah guru IPS. Saat tema pembelajaran membahas tentang lembaga sosial, salah satu lembaga yang dibahas adalah lembaga pendidikan.

Kepada murid-murid kelas tujuh sahabat saya mengumpulkan pendapat siswa, bagaimana pandangan mereka terhadap pendidikan di Indonesia. Hasilnya, sebagian besar siswa menganggap sekolah tak lagi penting. Dengan bahasa sendiri mereka berkata, "buat apa kita sekolah, segala informasi tersedia lengkap di google".

Sahabat saya yang selalu resah dengan soal-soal pendidikan yang menyentuh akarnya, pun hanya membatin, betapa nampak jelas kejenuhan siswa di sekolah. Sementara, dalam penuturannya, sebagian besar teman-teman guru di sekolah itu merasa sudah benar. Jadinya, kegelisahan peserta didik tak tertangkap radar kepekaan guru-guru.

Cuplikan peristiwa itu sejatinya puncak gunung es, praktik pengajaran asal kasih pengetahuan tanpa peduli-atau bingung-pada potensi siswa banyak kita jumpai. Sejumlah pakar pun berpendapat, masalah utamanya bukan kurikulum. Tapi guru.

Di tangan guru yang bagus, kurikulum yang jelek pun akan menghasilkan output siswa yang bagus. Tapi bila gurunya jelek, kurikulum bagus bukanlah garansi yang meyakinkan keluarannya akan bagus. Begitu seorang ahli pendidikan berpendapat.

Pada kondisi itu lah saya merasa peran saya sebagai guru sangat beralasan bisa digantikan oleh teknologi.

Tulisan ini bukan ungkapan pesimistis. Sejumlah praktik baik guru dan komunitas guru bergeliat di pojok-pojok pelosok negeri. Dari itu berharap lahir guru-guru yang masih terus membaca, merawat pemikirannya lewat tulisan, merdeka, juga yang rendah hati dan sabar memberitahu muridnya. Guru  yang tak mudah dikangkangi oleh teknologi.

Oleh : M. Dhofier Lee
Pemerhati pendidikan