Oleh : Dhofier Lee
Pemerhati Pendidikan


Kualitas pendidikan Indonesia kembali dipersoalkan oleh banyak kalangan. Pasalnya, sejak anggaran pendidikan ditingkatkan hingga 20 persen, tidak ada perubahan berarti. Idealnya, anggaran sebesar itu mampu menghasilkan terobosan yang buahnya bisa kita petik minimal dalam kurun waktu sepuluh tahun. Rentang waktu itu telah dilewati. Sayangnya, kualitas pendidikan kita malah disalip oleh Vietnam yang mereformasi sistem pendidikannya lebih telat dari kita.

Indikator capaian kualitas pendidikan salah satunya adalah hasil tes PISA. Lima belas tahun sejak Indonesia turut menjadi peserta dalam tes PISA, peringkatnya konsisten di papan bawah negara-negara peserta PISA. Kita jauh tertinggal bahkan oleh Vietnam yang baru mengikuti PISA tahun 2012 dan langsung merangsek ke peringkat 20 besar. Tahun 2015, saat kita masih setia di tangga buncit, Vietnam sudah bertengger di posisi 10 besar.

Fakta itu seyogyanya menjadi bahan refleksi semua pihak. Pemerintah, sekolah dan masyarakat perlu duduk bersama mencari titik keliru yang harus diperbaiki dan terus mengembangkan kelebihan yang kita punyai.

Kultur yang mencerminkan pendidikan bermutu haruslah muncul dari kepedulian kolektif. Masyarakat sebagai user harus terus menyuarakan harapan, saran, kritik kepada pemerintah. Sementara pemerintah, mengolah aspirasi itu dengan kajian akademik yang mendalam. Sehingga, setelah menjadi kebijakan, masyarakat mengerti apa tujuan dan nilai kebermanfaatannya.

Di mana posisi sekolah? Sekolah harus menyelaraskan diri dengan apa yang menjadi harapan masyarakat dan kebijakan pemerintah soal pendidikan. Sekolah sudah semestinya melahirkan inovasi pendidikan dalam bentuknya yang dinamis mengikuti perkembangan teknologi tanpa meninggalkan nilai-nilai humanis dan kemandirian peserta didik.

Mulai dari mana perbaikan itu?

Jika kita sepakat bahwa pengalaman adalah guru terbaik, maka proses yang berkualitas lah yang memberikan pengalaman berharga. Bertolak dari itu, pemerintah semestinya menyadarkan masyarakat dan sekolah bahwa dalam pendidikan, yang paling utama adalah proses belajarnya, bukan nilai rapot yang ditulis sebagai angka-angka tak bermakna itu.

Jika paradigma pendidikan telah move on dari berorientasi hasil ke orientasi proses, saatnya kita membenahi apa yang belum bisa kita capai. Kategori yang diterapkan oleh PISA bisa menjadi tumpuan kita memulai perbaikan. Kemampuan dasar matematika, sains dan membaca.

Kemampuan literasi

Literasi bisa dimaknai sebagai kemampuan mengaplikasikan pengetahuan, menganalisis sebuah masalah dengan basis teori yang tepat, kemampuan mengevaluasi sebuah gagasan dengan mengajukan antitesis dari tesis mainstreim. Juga, kemampuan menciptakan karya berbudaya dan memiliki manfaat untuk masyarakat luas.

Secara sederhana, literasi dapat dimengerti sebagai kemampuan mengurai gagasan dengan tepat baik secara lisan maupun tulisan berdasarkan sumber literatur keilmuan.

Pengertian itu sejalan dengan penjelasan dari UNESCO, literasi adalah seperangkat keterampilan nyata, terutama dalam hal menulis dan membaca. Atau, menurut Harvey J. Graff (2006), literasi merupakan kemampuan dalam diri seseorang untuk menulis dan membaca.

Pada pokonya, keterampilan literasi tidaklah muncul dengan serta-merta. Kemampuan itu haruslah dilatih. Praktiknya melekat pada pembelajaran yang berbasis masalah, bukan berbasis pada materi atau pengetahuan belaka.

Tapi, harus diakui, ruang belajar anak-anak kita disesaki dengan pemberian materi yang menjadi target kurikulum. Siswa tidak punya kesempatan mengaktualisasi idenya melalui pembacaan yang kritis.

Hal itu sulit dibantah, laporan Kemendikbud melalui Indonesia National Assessment Programme (INAP) memberikan hasil yang tak jauh beda dengan tes PISA. INAP tahun 2018 menerangkan hanya 6,06 persen siswa kita yang mampu membaca dengan baik, sisanya, 47,11 persen cukup dan 46,83 persen lagi memiliki kemampuan kurang. Artinya, anak-anak kita baru pada tahap bisa membaca namun tak memahami bacaannya.

Kemampuan matematika

Masih menurut PISA, kemampuan matematika dan sains siswa Indonesia masuk kategori rendah. Bahkan, untuk matematika, sekitar 43 persen belum melampaui kemampuan level 1 yang merupakan kemampuan terendah. Sedangkan sains, 24,7% siswa kita tak kuasa menjangkau kemampuan level 1.

Kemampuan matematika yang cenderung buruk itu, saya yakin bukan karena siswa kita bodoh. Ada yang keliru pada praktik pengajaran. Pembelajaran melulu diarahkan pada hal-hal abstrak dan hapalan, bahkan cenderung tidak masuk akal.

Kemampuan matematika setidaknya meliputi dua area. Pertama, pada wilayah kongkret, matematika harus berdaya guna, menjadi solusi bagi persoalan nyata yang kerap dihadapi oleh siswa dalam kesehariannya. Kedua, di level abstrak, matematika merupakan olah pikir yang mendorong peserta didik mampu bernalar kritis dan berpikir logis.

Sebagai contoh, alih-alih mengajarkan pola yang terjadi pada perbandingan senilai, guru lebih familiar mengenalkan rumus JKW yang digambarkan dalam segitiga yang menunjukkan hubungan jarak, kecepatan dan waktu. Hal yang sama dipraktikan sewaktu pembelajaran skala pada peta. Guru lebih suka memberikan rumus ketimbang pemahaman yang logis.

Pada hal pengukuran misalnya, anak-anak bahkan tidak tahu bahwa rumus luas segitiga diturunkan dari luas persegi panjang. Juga tidak tahu kalau luas persegi panjang dan persegi adalah sama, sama-sama dimensi jarak dikali jarak. Ini potret kecil hal-hal yang dianggap lumrah, tetapi banyak yang luput dari konsep yang logis.

Dampak dari pembelajaran yang tidak tuntas seperti itu, salah satunya adalah pudarnya mental bertanya, hilangnya rasa ingin tahu yang dimiliki sejak kecil. Dulu waktu masih usia TK, anak-anak kita jago bertanya. Apa saja ia tanyakan kepada orangtuanya. Setelah memasuki institusi  pendidikan, tetiba segala tanya yang hidup dalam ruang mentalnya raib. Anak-anak menerima saja apa yang guru kasih.

Menghapus UN

Pembelajaran yang berbasis pada proses akan menumbuhkan kembali mental bertanya siswa. Sudah terlalu lama sekolah membunuh daya tanya siswa dengan memadamkan rasa ingin tahunya.

Bayangkan, mulai sejak SD, PR, tugas, ulangan harian, ulangan tengah semester dan ulangan akhir semester, dikali sekian banyak pelajaran dikali lagi enam tahun, anak-anak didudukkan untuk menjawab soal. Belum lagi SMP, lalu SMA, begitu pula Perguruan Tinggi.

Betapa sistem persekolahan kita telah merampas pertanyaan yang tumbuh alami dalam ruang imajinasi dengan sekali tebas melalui senjata pamungkas UN, setelah sebelumnya dipereteli dengan PR, tugas, ulangan harian, UTS dan UAS. Padahal, ilmu pengetahuan ditemukenali pertamakali oleh imajinasi dan tanya.

Apa mau dikata? Orangtua siswa, umumnya masih mengagungkan nilai UN sebagai capaian bergengsi untuk anaknya. Setali tiga uang, sekolah pun mengejar nilai UN yang tinggi demi nama baik sebagai sekolah favorit.  Kebijakan menghapus UN menurut saya tidak berlebihan. Bagaimana kita mau memperbaiki proses belajar jika tujuan akhir ditentukan oleh tes standar.

Memang UN bukan lagi penentu kelulusan siswa. Tapi, kehendak memburu nilai UN terbaik nyatanya masih menjangkiti sekolah dan orangtua. Korbannya adalah anak-anak. UN menyita banyak waktu murid kita untuk membaca, berkreasi dan bermain.

Alhasil, kebijakan menghapus UN diharapkan mengubah arah fokus utama belajar, yaitu bukan hasil tes standar melainkan proses belajar yang memanusiakan dan memerdekakan.

Berangkat dari ruang belajar kita, menemukan praktik baik dan inovasi pembelajaran harus terus disuarakan oleh pemerintah, agar menemukan jalan keluar dari sengkarutnya sistem pendidikan kita.