Untuk sekian kali saya harus tercenung. Bukan karena kejutan yang menyenangkan. Tercenung oleh keprihatinan. Belakangan ini  taman baca "Sahabat Senja" tak seramai di awal. Sekali-dua saja yang mau maen dan meminjam atau membaca buku langsung di situ. Pun, yang biasanya belajar, tak seseru seperti setahun lalu.

Selepas isya, tetiba dua anak laki-laki memanggil saya, "bapak Bening, aku mau belajar dong", sahut mereka. Tanpa sungkan saya langsung mengiyakan. Saya justru senang, kemauan belajar datang dari mereka sendiri.

Saya kerap didorong membuka kelas agar anak-anak di lingkungan tempat saya tinggal bisa belajar bersama di situ. Saya enggan mewujudkan itu, karena selanjutnya pasti anak-anak belajar bukan karena kehendak sendiri, melainkan pengennya ortunya saja.

Kembali ke cerita dua anak lelaki tadi, namanya Raka dan Veno, mereka sama-sama kelas 3 di salah satu sekolah negeri di Tangsel. Rupanya mereka ada PR matematika tentang satuan waktu, satuan panjang dan satuan masa. Mereka diminta mengonversi satuan-satuan itu. Misalnya dari tahun ke bulan, bulan ke hari, windu ke tahun. Atau, dari km ke m, cm ke dm dan seterusnya.

Soal pertama seingat saya begini, 2 tahun + 5 bulan = .......Minggu. saya mengawali dengan bertanya, "seminggu ada berapa hari?". Raka menjawab 5 dan Veno menjawab 4. Saya masih santai, lalu mengajak : "baiklah, mari kita hitung. Seniiin...Selasaaa ...Rabuuu....mereka koor sampai Minggu". Saya lanjut bertanya, "jadi seminggu ada berapa hari?". Mereka masih menjawab tidak tepat. Jawaban mereka 5 dan 3. Lalu saya ajak lagi koor, "Seniiin....Selasaaa....." belum selesai, mereka langsung memotong, "ada tujuh hariiii...."

Saya melanjutkan, "kalau begitu, dua Minggu ada berapa hari?". Mereka terdiam lama. Saya membantunya dengan ilustrasi, "seandainya kalian pulang kampung selama dua Minggu, artinya kalian berapa hari di kampung?". Mereka masih diam, tapi sambil merapalkan dengan bisikan yang sayup-sayup saya dengar, "Senin, Selasa, Rabu,....bla...bla...." Cukup lama saya menunggu, tapi saya senang, mereka menjawab 14 hari.

Saya teruskan dengan menanyakan ada berapa hari kalau 3 Minggu, kalau 4 Minggu, dan seterusnya sampai ada berapa hari kalau 12 Minggu. Saya ajak mereka menemukan pola perkalian. Alhasil, untuk menjawab PR nomer 1 itu, saya mencoba berputar hingga pedalaman pemahaman mereka. Meski mereka tetep semangat, karena waktunya malam, kantuk jualah yang mengalahkan mereka.

Akhirnya, belajar dengan mereka berakhir dengan hanya menjawab 3 soal. Sebenarnya pembahasan soal nomer 2 dan 3 tidak kurang dahsyat saya muter-muternya.

Selesai belajar mereka menampilkan raut murung. Saya pikir sebab kantuk dan lelah. Rupanya mereka kecewa PRnya tidak kelar. Mereka mengungkapkannya dengan berat hati. Dengan hati-hati saya mencoba menghibur, " tidak apa, yang penting kalian paham". Mereka menghiraukan perkataan saya. Saya memahami, naif sekali saya ngomong begitu dengan anak 3 SD.

Saya sendiri nyerah, mau bagaimana lagi, saya pikir, saya justru lebih tega bila menyelesaikan PRnya tanpa peduli mereka ngerti atau tidak.

Belakangan saya tahu dari ibunya Raka, gurunya kerap menghukum murid-muridnya. Saya jadi paham, kenapa mereka kecewa malam itu. PRnya gak selesai. Mungkin mereka terbayang oleh angkernya sang guru kelas itu.

Saya sendiri membatin, tidak mungkin anak berdua tadi bisa menyelesaikan soal-soal yang dikasih gurunya. Wong, operasi dasar perkalian, pembagian, penjumlahan dan pengurangannya saja masih gagu, belum dikuasai sempurna. Sementara, salah satu soalnya ada yang begini, 7200 detik + 180 menit + 2 jam = ....... Jam. Kebayang deh, puyengnya anak-anak.

Tak hanya ke anak. Terhadap orangtua siswa pun, guru unik ini punya tingkah yang menggemaskan. Heheeee.... Jadi, bila dia kasih info di grup WA dan belum juga direspon oleh para wali murid dengan ucapan 'terimakasih', beliau ini geram dan nggak segan marah di grup WA tersebut.

Suatu kali, saat pembagian rapot Tengah semester, ibunya Raka datang telat, gak telat terlalu lama sebenarnya. Barang 7 atau 10 menit. Dengan berbasa-basi ibunya Raka meminta maaf atas keterlambatannya. Basa-basinya dibalas dengan ringan, datar plus sinis, "gak bisa lebih pagi?". Dengan pelan dan hati2, ibunya Raka bermaksud menanyakan bagaimana anaknya di sekolah. Usaha itu sia-sia. Bu guru itu cuek secuek-cueknya...hahahaaa...

Walhasil, lebih dari separo orangtua murid enggan mengambil rapot tengah semester anaknya...

Cerita ini bukan soal personal Bu guru yang dimaksud. Saya hanya ingin menggambarkan bahwa ini potret. Potret kita, mungkin juga saya, sebagai guru. Betapa kita sebagai guru belum selesai dengan diri kita sendiri.

Seringkali kita tak adil dengan murid kita. Mengubah paradigma pribadi agar lebih humanis, mengakrabi anak-anak jaman now yang telah samasekali berbeda dengan kita sewaktu seusia mereka itu persoalan yang pelik. Kita harus benar-benar selesai dengan diri kita sendiri.

Saya jadi menerka, mereka-reka, membayang, betapa menderitanya si murid Raka tadi, mungkin pula teman-temannya. Setahun ajaran mereka dipaksa berdamai dengan kemarahan sang guru kelas, apa mampu? Ketakutan menyertai tas gendongnya yang sudah berat oleh buku2. Oh....anak2, saya tak tega ceriamu harus direnggut oleh ketidaktahuan dan ketidaksadaran orang dewasa.

Kasian oh, kasian....

Oleh : Dhofier Lee
Pemerhati Pendidikan