Jumpa dengan kebiasaan baru bukan hal mudah. Sebagai makhluk sosial bertemu orang lain secara fisik dan mengerjakan tugas di luar rumah menjadi kebutuhan utama. Tegasnya, kurangnya mobilitas fisik tentu saja mengundang 'efek samping' baik secara fisik maupun psikologis.

Salah satu sebabnya adalah banjirnya informasi tiap kali kita klik media sosial. Di tengah gempuran informasi yang melimpah, menjadi manusia di era informasi dituntut memiliki kecerdasan tambahan, kemampuan memilih dan memilah informasi yang benar.

Wabah covid 19 menjadi tema perbincangan yang membuat bising dan tak jarang membuat mental kita kepayahan. Adalah keluarga yang semestinya bisa menjadi sumber pencerahan hati. Bersama kesulitan, kemudahan membersamai dalam bentuknya yang unik, seturut cara pandang kita terhadap kesulitan itu. Keluarga dapat menjadi pijakan melihat persoalan dengan jernih yang menginspirasi solusi bijak.

Seruan Yudi Latif baik juga kita renungkan, gelap tak selalu berarti buruk, dalam kegelapan malam, kelap-kelip gugusan bintang dan terang bulan menerbitkan keindahan yang mengagumkan. Sementara terang tak melulu bermakna keceriaan, di bawah terik dan silaunya sinar matahari, bagi mereka yang tidur adalah kepekatan dalam gelap. Dua-duanya tetap anggun bila diri diliputi keluasan kalbu.

Keharmonisan di dalam keluarga merupakan jendela pencerahan. Saat layar malam menutupi senja, jendela rumah berfungsi sebagai wahana menikmati bulan penuh atau separuh. Jendela tempat melihat kanvas malam tanpa kita harus didera takut angin malam menusuk. Di kala siang, jendela tempat kita menyaksikan curahan sinar matahari tanpa khawatir kepanasan.

Andai sebentuk rumah telah ambruk tak berjendela sepotong pun, kenikmatan menyaksikan bertaburan bintang atau meteor yang melesat apik mengharuskan kewaspadaan kalau-kalau hujan mendadak atau angin kering menerpa. Begitu pun saat tubuh menyenangi siraman sinar mentari, tanpa naungan rumah yang utuh, sengatan matahari tengah hari boleh jadi berbahaya.

Demikian lah keharmonisan keluarga. 
Ibarat rumah utuh yang memiliki jendela. Ia sumber cinta yang melahirkan kebahagiaan. Sindhunata dalam goresannya, janganlah engkau mencari kebahagiaan, sebab dengan mencari kebahagiaan engkau hanya akan menemukan kemalangan. Maka apa yang harusnya engkau cari dan buat adalah cinta dan mencintai karena hanya dengan cinta dan mencintai, dirimu akan menjadi bahagia dan menemukan kebahagiaan. Rumah dan keluarga adalah sumber cinta itu.

Menjadi guru bagi anak sendiri

Momentum bekerja dari rumah adalah saat di mana kita bisa membayar "hutang" pada anak-anak kita yang selama ini diserahkan sepenuh-penuhnya kepada gurunya di sekolah. Meme yang menyindir orangtua bahwa anaknya tak betah belajar di rumah lantaran orangtuanya lebih galak dari gurunya mesti kita balik. Kita sebagai orangtua harus berani membuktikan bahwa belajar di rumah bersama orangtua jauh lebih menyenangkan.

Barangkali kita lupa, sesungguhnya keluarga memang memiliki fungsi pendidikan. Kedudukannya malah yang utama. Apa yang kita jalani sekarang, menurut Thomas Armstrong adalah ejawantah dari apa yang dulu orangtua kita tanamkan ke diri kita. Jika hari ini kita tak berani mencoba hal-hal baru, itu semata penegasan bahwa dulu orangtua kita mendominasi sudut pandangnya dan kita sebagai anak mengekor belaka.

Saatnya sekarang orangtua harus mampu menjadi guru yang baik dan menyenangkan bagi anak-anaknya di rumah. Pola bekerja dari rumah, oleh para pengamat di prediksi akan menjadi tradisi baru bahkan setelah wabah covid 19 ini berlalu. Pun sekolah, ke depan perannya akan semakin berkurang, tak lagi sepenuhnya menjadi sumber ilmu pengetahuan, tapi sekadar tempat mengembangkan kemampuan memimpin, berkolaborasi, dan literasi.

Mengajarkan Empati

Salah satu fungsi keluarga adalah mengenalkan peran sosial. Sebagai unit terkecil masyarakat, keluarga sejatinya peletak dasar bangunan karakter anak. Karakter yang dibutuhkan setiap saat adalah rasa empati, kepedulian terhadap sesama.

Di balik wajah sedih karena jatuhnya korban dan saudara kita yang ekonominya oleng, kondisi pandemi virus Covid 19 tak serta-merta memberangus kehidupan. Waktunya kita berbagi sesuai batas-batas yang kita mampu. Orangtua hendaknya memberikan keteladanan pada anak untuk menghidupkan sikap solidaritas.

Penanaman rasa empati melalui contoh nyata, pada akhirnya secara teguh dan mantap membekali sang buah hati kelak menjadi bagian yang berperan langsung di masyarakat. Dalam kehidupannya nanti anak dengan kesadaran sendiri mampu memaknai bahwa hidup merupakan pengabdian dan keterpanggilan membantu masyarakat di bidang yang menjadi kapasitas pribadi.

Peran Spiritual

Kelahiran manusia merupakan wujud cinta dan kemurahan Tuhan untuk alam semesta. Maka sandaran kehidupan yang kita jalani adalah cinta kepada-Nya. Misi kehidupan kita untuk mengabdi (beribadah) kepada sang Maha Pencipta. Tapi, baiknya tak salah mengerti, mengabdi sesungguh jiwa tak lantas dimaknai sempit, sebatas pada ritus-ritus ibadah sebagai bukti kesalehan pribadi.

Menjadi makhluk Allah yang menghamba, adalah mereka yang menjadi manusia sejati. Dalam peringatan haul Gus Dur, KH. Mustofa Bisri pernah mengatakan bahwa puncak spiritualitas adalah menjadi manusia. Beliau mencontohkan Gus Dur. Seorang darah biru keturunan pendiri NU yang senantiasa di tengah umat. Sisi pribadinya telah selesai, sehingga sisi hidupnya yang lain beliau wakafkan untuk kemaslahatan umat.

Kesalehan seseorang tak hanya tercermin dari kuantitas ibadah yang ia dawamkan. Kesalehan individu haruslah berpendar pada  kedamaian, kepedulian dan kerukunan bersama di tengah masyarakat. Bukankah sebaik-baik manusia adalah mereka yang menebar kemanfaatan bagi sesama. Kesalehan pribadi akan semakin teguh bila menuju kesalehan sosial.

Di tengah hiruk-pikuk kesibukan, mengingatkan hal semacam ini pada anak mungkin terlewatkan. Menyerahkan pendidikan moral seluruhnya pada sekolah adalah mustahil. Kesempatan baik bersama keluarga memberikan waktu yang lebih dari cukup menghangatkan komunikasi yang kerap terjeda oleh gaduhnya komunikasi yang mementingkan diri masing-masing anggota keluarga.

Melatih kepemimpinan

Apakah sempat kita mengajarkan anak-anak kita menjadi pemimpin yang baik, sementara waktu ketemu kita dengan mereka selalu berjarak sebab pekerjaan di kantor. Apa rasanya, di tempat kerja kita disegani karena kesungguhan memimpin bawahan, sementara kecakapan memimpin kita tak pernah langsung disaksikan oleh anak.

Saat seperti ini, keharusan bekerja dari rumah, merupakan keluasan berkah agar kita dikenali seutuhnya sebagai pemimpin rumah tangga yang patut diidolakan oleh anak. Keluwesan komunikasi dengan anak sangat berbeda ketika kita berhadapan dengan rekan bekerja di kantor. Dibutuhkan banyak uji coba cara bertutur dengan anak agar mereka betah mendengarkan.

Mungkin di antara kita pernah merasakan sendiri. Anak kita lebih percaya gurunya di sekolah ketimbang dengan kita orangtuanya. Saya pernah terkejut waktu anak saya mengatakan membeli makanan di kedai tertentu hukumnya haram. Peristiwa yang saya tak akan lupa, saya harus memutar dan memilih-milih diksi yang pas agar anak saya tahu bahwa gurunya keliru, tapi tak memudarkan kepercayaan pada gurunya itu.

Pengalaman menarik ketika di hadapan saya sendiri, menyaksikan anak saya berselisih paham dan saling beradu kata-kata dengan teman mainnya. Saya sengaja tak mau nimbrung dalam ketegangan mereka. Bagi saya, inilah saat pelatihan kepemimpinan yang riil untuk anak saya. Saya mengamati seksama bagaimana ia mengatur emosinya.

Setelah usai, barulah saya ajak ngobrol asyik anak saya. Saya sampaikan kepadanya bahwa kemampuan menguasai diri, memimpin jiwa dan raga sendiri adalah bekal agar ia mampu memimpin orang lain.

Mari kita kembalikan keluarga menjadi ruang inspirasi. Sumber cinta yang melahirkan kebahagiaan. Jika di antara kita sudah mulai merasakan bosan, kata guru meditasi, Gede Prama, belum mencapai puncak kedalaman, kesunyian yang menggetarkan nilai-nilai illahi. Selamat memetik kehangatan dengan keluarga di rumah, semoga wabah Corona cepat berlalu.